Kamis, 21 November 2019

Menghindari Sikap Ghuluww dalam melaksanakan Ajaran Agama




Alhamdulillah segala puji bagi Allah azza wa jalla, yang telah memberi kita pedoman agama yang lurus dan mudah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa mengajarkan bersikap pertengahan serta istiqamah.

Tulisan ini sekedar pengantar pengajian online yang diadakan Rumah Dakwah Indonesia (RDI) pada tanggal10 September 2019. Sepertinya sangat relevan dengan peristiwa pemboman di banyak tempat di negara kita maupun tempat lainnya dengan alasan berjuang fi sabilillah tanpa memperhatikan konteks ataupun pemahaman keislaman yang benar. Sehingga dapat saja digolongkan kepada pemahaman yang berlebihan tidak sesuai dengan yang semestinya dalam menjalankan ajaran Islam atau yang diistilahkan oleh para ulama dengan ghuluww. Semoga bahan singkat ini bermanfaat.


Makna Ghuluw.

Ghuluw dalam bahasa arab berasal dari kata ghalaa yaghluu ghuluwwun yang berarti menambah, berlebih dari yang seharusnya. Sebagai contoh air mendidih dalam wadah masaknya bisa disebut ghalaa (telah berlebih) karena melompat-lompat keatas lebih dari biasanya. Atau juga bisa diaplikasikan pada makna terjadinya kenaikan harga barang sehingga bertambah dari biasanya.
Sedangkan ghalaa atau ghuluw dalam beragama berarti berlebihan dalam mengamalkannya atau mengerjakan suatu ajaran agama tidak sebagaimana mestinya, melampaui batas-batasnya.

Islam ini semestinya dilaksanakan sesuai  dengan yang diajarkan Allah subhanahu wata’ala melalui bimbingan Alqur’an serta praktik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama yang datang kemudian pun ketika menganalisa dan mendalami serta menentukan hukum Islam terikat dengan kaidah-kaidah yang tak boleh lepas dari kedua pedoman utama tersebut.

Namun ketika seorang muslim tidak berpegang teguh kepada kedua pedoman tersebut maka dapat dipastikan ia akan terjebak pada sikap ghuluw ini. Atau bisa jadi ia memilih dan mencoba memahami Islam tanpa bimbingan para ulama yang berpegang teguh pada kedua pedoman utama tersebut maka dapat dipastikan ia pun bakal terjatuh pada sikap ghuluw.

Oleh sebab itu Nabi sudah mengingatkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berikut :
 إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
Jauhilah olehmu ghuluw dalam beragama sebab penyebab utama hancurnya orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.

Sebab hadirnya hadits ini adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan bebatuan yang akan dipergunakan bagi melempar jumrah aqabah (dalam ibadah haji) dengan ukuran yang tidaklah terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil jadi hanya sebesar bebatuan yang dapat dilempar dengan jemari , seraya mengusap bebatuan itu beliau bersabda : dengan batu semisal inilah kalian lempar jumrah, dan jauhilah olehmu ghuluw dalam beragama sebab penyebab utama hancurnya orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.

Memilih Keseimbangan dan Pertengahan (Wasathiyah).

Melalui hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pedoman standar bebatuan yang dapat dijadikan alat melempar jumrah. Tidak harus kerikil besar melebihi besar ruas jari dan juga tidak terlalu kecil. Sedangkan pada dimensi lain dapat ditangkap bahwa begitulah seharusnya melaksanakan ajaran agama ini yaitu tidak berlebihan sampai melebihi pedoman yang sudah ditetapkan namun tidak pula boleh terlalu longgar sampai seakan tak dikerjakan.

Diantara ciri khas ajaran Islam adalah bersifat wasathiyah yaitu pertengahan. Pertengahan dalam bersikap berarti tidak longgar namun juga tidak ketat. Tidak ada sikap ekstrim terlalu meremehkan sesuatu namun tidak pula terlalu ketat berlebihan.

Kedua kecendrungan dalam bersikap atau berbuat tersebut sering sekali terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia. Akal kita yang terbatas sering menyebabkan ketidakseimbangan dalam memutuskan atau menilai sesuatu. Itulah sifat manusia. Oleh sebab itu diperlukan pedoman dan bingkai yang dapat memelihara keseimbangan dalam bersikap dan beramal. Sehingga amal yang diperbuat terhindar dari berlebihan atau tidak sesuai dari yang seharusnya.

Pengalaman ummat lainnya sebelum Ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sikap ghuluw ini sudah terjadi pada ummat sebelum kita. Maka Allah ta’ala sudah mengingatkan mereka seperti disebutkan dalam alqur’an :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
Wahai Ahli Kitab janganlah kalian bersikap berlebihan (ghuluw) dalam agama kalian.

Mereka yang dimaksudkan ahlul kitab adalah Yahudi dan Nashrani. Sebab mereka sudah berlebihan dalam aqidah mereka terhadap Nabi-nabi dan tokoh-tokoh agama mereka. Yahudi menganggap Uzair Nabi mereka sebagai anak Tuhan. Nashrani pula menganggap Isa sebagai anak Tuhan. Mereka pula menjadikan tokoh dan ulama mereka sebagai Tuhan sebab mereka berani menempatkan pendapat mereka sebagai penentu untuk menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka telah melampaui batas dalam beragama sehingga dapat dikatakan telah jatuh dalam ghuluw.

Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : janganlah kalian berlebihan dalam memujiku dan menghormatiku seperti kaum Nashrani memuji dan menghormati Isa ibn Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba Nya maka katakanlah (aku ini) hamba Nya dan Rasulnya”.
Maka memuliakan Nabi sekalipun tidak oleh melebihi kapasitasnya sebagai Hamba Allah dan Rasul Nya. Bila diangkat sampai ke posisi sebagai Tuhan yang dapat menentukan manfaat dan mudharat berarti seseorang telah jatuh ke jurang ghuluw.

Bentuk-bentuk Ghuluw

Diantara bentuk-bentuk ghuluw adalah sebagai berikut :

p1. pemuliaan berlebihan terhadap Nabi atau para Ulama
seperti yang disebutkan diatas dan dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nashara baik terhadap Nabi mereka maupun terhadap ulama-ulama mereka.

22.   Dalam memuliakan dan menghormati  orang-orang saleh.
Seperti yang terjadi pada masa kaum Nabi Nuh yang memuja orang-orang saleh mereka seteah mereka wafat yaitu Suwa’ , Yaghuts, Ya’uq, dan Nasar. Juga fenomena yang serupa terjadi pada beberapa sekte yang muncul dalam sejarah kaum muslimin seperti Syiah yang berlebihan dalam memuliakan Ali bin Abi Thalib sampai ada yang menempatkan posisinya menjadi Tuhan serta meyakini bahwa Jibril salah memberi wahyu kepada Muhammad seharusnya kepada Ali.

33.  Ghuluw dalam pelaksanaan beberapa jenis ibadat dan sikap beragama secara umum.
Seperti yang pernah terjadi pada masa shahabat dan diceritakan dalam hadits bahwa sebagian shahabat bertekad tidak akan putus berpuasa, selalu akan berjaga tak pernah tidur dan akan selamanya membujang tidak menikah demi terus menambah volume ibadah dan tidak ketinggalan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu mendengar tekad beberapa shahabat inipun Nabi segera naik ke mimbar dan mengingatkan bahwa hal seperti ini tak boleh dilakukan. Sebab beliau sendiri sekalipun sudah mendapat kedudukan tinggi di hadapan Allah tidak mengerjakan hal tersebut.
Khawarij yang berciri khas begitu intensif dalam ibadahnya ternyata menyimpan sikap ghuluw yang diterapkan dalam penilaian terhadap kaum muslimin lainnya. Sehingga mereka berani mengkafirkan orang yang berbuat dosa. Oleh sebab itu mereka mengkafirkan serta menghalalkan darah para shahabat atau kaum muslimin lainnya yang tidak sefaham dengan mereka.

44.       Dalam dakwah amar makruf nahi mungkar.
Seperti yang diarahkan oeh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kewajiban al amru bil makruf wannahyi anil mungkar berada dalam bingkai kemampuan seseorang. Menggunakan yad atau tangan dalam pengertian kekuasaan , kemudian lisan dengan mengingatkan, atau penentangan dengan hati. Juga ada kaidah upaya mengingkari kemunkaran tidak boleh mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar. demikian pula ada kaidah kemungkaran tak boleh dihilangkan dengan kemungkaran pula. Beberapa kaidah ini harus dipertimbangkan dalam upaya dakwah.  Sehingga dakwah tidak justru berubah menjadi upaya yang menjelekkan dan mengakibatkan hal negatif bagi agama.

Kiat menghindari sikap Ghuluw.

Berpegang teguh pada agama dan syariat yang lurus adalah kunci dalam melaksanakan agama secara lurus dan pertengahan. Dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dijadikan pedoman adalah al qur’an dan sunnah. Sebagai pembelajar maka dalam mengikuti ulama dan panutan juga hendaknya memperhatikan dasar dan ilmu sang panutan. Bila dasar yang diikuti sesuai dengan prinsip qur’an dan sunnah maka insyaallah sikap-sikap ghuluw akan terhindari.

Menghindari sikap bahwa kita adalah yang paling benar juga merupakan salahsatu yang harus diambil. Karena tradisi belajar agama yang beragam dan penuh dengan perbedaan pendapat antar para ulama maka seharusnya  kita menghormati pula pendapat orang lain sepanjang dalam pelaksanaan amal ibadat yang berdasarkan hukum Islam.

Mencoba secara bertahap pelaksanaan ajaran agama dan memilih yang paling mudah terlebih dahulu sebelum tingkatan yang lebih berat dan tinggi. Dahulukan yang wajib baru berusaha melaksanakan sunnah-sunnah dan mubah. Menjauhi hal-hal yang haram dengan sekuat tenaga.

Demikian beberapa uraian singkat berkaitan dengan materi kajian kita hari ini dan masih banyak aspek lagi yang dapat dikembangkan. Mohon maaf bila kurang berkenan. Yang benar datang dari Allah subhanahu wata’ala sedangkan yang salah datang dari diri kami dan syaithan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar