Alhamdulillah segala puji bagi Allah azza wa jalla, yang
telah memberi kita pedoman agama yang lurus dan mudah. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa
mengajarkan bersikap pertengahan serta istiqamah.
Tulisan ini sekedar pengantar pengajian online yang diadakan Rumah Dakwah Indonesia (RDI) pada tanggal10 September 2019. Sepertinya sangat relevan dengan peristiwa pemboman di banyak tempat di negara kita maupun tempat lainnya dengan alasan berjuang fi sabilillah tanpa memperhatikan konteks ataupun pemahaman keislaman yang benar. Sehingga dapat saja digolongkan kepada pemahaman yang berlebihan tidak sesuai dengan yang semestinya dalam menjalankan ajaran Islam atau yang diistilahkan oleh para ulama dengan ghuluww. Semoga bahan singkat ini bermanfaat.
Makna Ghuluw.
Ghuluw dalam bahasa arab berasal dari kata ghalaa yaghluu
ghuluwwun yang berarti menambah, berlebih dari yang seharusnya. Sebagai contoh
air mendidih dalam wadah masaknya bisa disebut ghalaa (telah berlebih) karena
melompat-lompat keatas lebih dari biasanya. Atau juga bisa diaplikasikan pada
makna terjadinya kenaikan harga barang sehingga bertambah dari biasanya.
Sedangkan ghalaa atau ghuluw dalam beragama berarti berlebihan
dalam mengamalkannya atau mengerjakan suatu ajaran agama tidak sebagaimana
mestinya, melampaui batas-batasnya.
Islam ini semestinya dilaksanakan sesuai dengan yang diajarkan Allah subhanahu
wata’ala melalui bimbingan Alqur’an serta praktik Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Para ulama yang datang kemudian pun ketika menganalisa dan
mendalami serta menentukan hukum Islam terikat dengan kaidah-kaidah yang tak
boleh lepas dari kedua pedoman utama tersebut.
Namun ketika seorang muslim tidak berpegang teguh kepada
kedua pedoman tersebut maka dapat dipastikan ia akan terjebak pada sikap ghuluw
ini. Atau bisa jadi ia memilih dan mencoba memahami Islam tanpa bimbingan para
ulama yang berpegang teguh pada kedua pedoman utama tersebut maka dapat
dipastikan ia pun bakal terjatuh pada sikap ghuluw.
Oleh sebab itu Nabi sudah mengingatkan dalam hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu berikut :
إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم
الغلو في الدين
Jauhilah olehmu
ghuluw dalam beragama sebab penyebab utama hancurnya orang-orang sebelum
kalian adalah ghuluw dalam agama.
Sebab hadirnya hadits ini adalah ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam diberikan bebatuan yang akan dipergunakan bagi melempar jumrah
aqabah (dalam ibadah haji) dengan ukuran yang tidaklah terlalu besar dan tidak
pula terlalu kecil jadi hanya sebesar bebatuan yang dapat dilempar dengan
jemari , seraya mengusap bebatuan itu beliau bersabda : dengan batu semisal
inilah kalian lempar jumrah, dan
jauhilah olehmu ghuluw dalam beragama sebab penyebab utama hancurnya
orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.
Memilih Keseimbangan dan Pertengahan (Wasathiyah).
Melalui hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan
pedoman standar bebatuan yang dapat dijadikan alat melempar jumrah. Tidak harus
kerikil besar melebihi besar ruas jari dan juga tidak terlalu kecil. Sedangkan
pada dimensi lain dapat ditangkap bahwa begitulah seharusnya melaksanakan
ajaran agama ini yaitu tidak berlebihan sampai melebihi pedoman yang sudah
ditetapkan namun tidak pula boleh terlalu longgar sampai seakan tak dikerjakan.
Diantara ciri khas ajaran Islam adalah bersifat wasathiyah
yaitu pertengahan. Pertengahan dalam bersikap berarti tidak longgar namun juga
tidak ketat. Tidak ada sikap ekstrim terlalu meremehkan sesuatu namun tidak
pula terlalu ketat berlebihan.
Kedua kecendrungan dalam bersikap atau berbuat tersebut
sering sekali terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia. Akal kita yang
terbatas sering menyebabkan ketidakseimbangan dalam memutuskan atau menilai
sesuatu. Itulah sifat manusia. Oleh sebab itu diperlukan pedoman dan bingkai
yang dapat memelihara keseimbangan dalam bersikap dan beramal. Sehingga amal
yang diperbuat terhindar dari berlebihan atau tidak sesuai dari yang
seharusnya.
Pengalaman ummat lainnya sebelum Ummat Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam.
Sikap ghuluw ini sudah terjadi pada ummat sebelum kita. Maka
Allah ta’ala sudah mengingatkan mereka seperti disebutkan dalam alqur’an :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
Wahai Ahli Kitab janganlah kalian bersikap berlebihan
(ghuluw) dalam agama kalian.
Mereka yang dimaksudkan ahlul kitab adalah Yahudi dan
Nashrani. Sebab mereka sudah berlebihan dalam aqidah mereka terhadap Nabi-nabi
dan tokoh-tokoh agama mereka. Yahudi menganggap Uzair Nabi mereka sebagai anak
Tuhan. Nashrani pula menganggap Isa sebagai anak Tuhan. Mereka pula menjadikan
tokoh dan ulama mereka sebagai Tuhan sebab mereka berani menempatkan pendapat
mereka sebagai penentu untuk menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan
sesuatu yang halal sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka telah melampaui batas
dalam beragama sehingga dapat dikatakan telah jatuh dalam ghuluw.
Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
janganlah kalian berlebihan dalam memujiku dan menghormatiku seperti kaum
Nashrani memuji dan menghormati Isa ibn Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba
Nya maka katakanlah (aku ini) hamba Nya dan Rasulnya”.
Maka memuliakan Nabi sekalipun tidak oleh melebihi
kapasitasnya sebagai Hamba Allah dan Rasul Nya. Bila diangkat sampai ke posisi
sebagai Tuhan yang dapat menentukan manfaat dan mudharat berarti seseorang
telah jatuh ke jurang ghuluw.
Bentuk-bentuk Ghuluw
Diantara bentuk-bentuk ghuluw adalah sebagai berikut :
p1. pemuliaan berlebihan
terhadap Nabi atau para Ulama
seperti yang disebutkan diatas dan dilakukan oleh kaum
Yahudi dan Nashara baik terhadap Nabi mereka maupun terhadap ulama-ulama
mereka.
22. Dalam memuliakan dan
menghormati orang-orang saleh.
Seperti yang terjadi pada masa kaum Nabi Nuh yang memuja
orang-orang saleh mereka seteah mereka wafat yaitu Suwa’ , Yaghuts, Ya’uq, dan
Nasar. Juga fenomena yang serupa terjadi pada beberapa sekte yang muncul dalam
sejarah kaum muslimin seperti Syiah yang berlebihan dalam memuliakan Ali bin
Abi Thalib sampai ada yang menempatkan posisinya menjadi Tuhan serta meyakini
bahwa Jibril salah memberi wahyu kepada Muhammad seharusnya kepada Ali.
33. Ghuluw dalam pelaksanaan
beberapa jenis ibadat dan sikap beragama secara umum.
Seperti yang pernah terjadi pada masa shahabat dan
diceritakan dalam hadits bahwa sebagian shahabat bertekad tidak akan putus
berpuasa, selalu akan berjaga tak pernah tidur dan akan selamanya membujang
tidak menikah demi terus menambah volume ibadah dan tidak ketinggalan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu mendengar tekad beberapa shahabat inipun
Nabi segera naik ke mimbar dan mengingatkan bahwa hal seperti ini tak boleh
dilakukan. Sebab beliau sendiri sekalipun sudah mendapat kedudukan tinggi di
hadapan Allah tidak mengerjakan hal tersebut.
Khawarij yang berciri khas begitu intensif dalam ibadahnya
ternyata menyimpan sikap ghuluw yang diterapkan dalam penilaian terhadap kaum
muslimin lainnya. Sehingga mereka berani mengkafirkan orang yang berbuat dosa.
Oleh sebab itu mereka mengkafirkan serta menghalalkan darah para shahabat atau
kaum muslimin lainnya yang tidak sefaham dengan mereka.
44.
Dalam dakwah amar makruf
nahi mungkar.
Seperti yang diarahkan oeh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa kewajiban al amru bil makruf wannahyi anil mungkar berada dalam bingkai
kemampuan seseorang. Menggunakan yad atau tangan dalam pengertian kekuasaan ,
kemudian lisan dengan mengingatkan, atau penentangan dengan hati. Juga ada
kaidah upaya mengingkari kemunkaran tidak boleh mengakibatkan kemungkaran yang
lebih besar. demikian pula ada kaidah kemungkaran tak boleh dihilangkan dengan
kemungkaran pula. Beberapa kaidah ini harus dipertimbangkan dalam upaya
dakwah. Sehingga dakwah tidak justru
berubah menjadi upaya yang menjelekkan dan mengakibatkan hal negatif bagi
agama.
Kiat menghindari sikap Ghuluw.
Berpegang teguh pada agama dan syariat yang lurus adalah
kunci dalam melaksanakan agama secara lurus dan pertengahan. Dasar yang harus
senantiasa diperhatikan dan dijadikan pedoman adalah al qur’an dan sunnah.
Sebagai pembelajar maka dalam mengikuti ulama dan panutan juga hendaknya
memperhatikan dasar dan ilmu sang panutan. Bila dasar yang diikuti sesuai
dengan prinsip qur’an dan sunnah maka insyaallah sikap-sikap ghuluw akan
terhindari.
Menghindari sikap bahwa kita adalah yang paling benar juga
merupakan salahsatu yang harus diambil. Karena tradisi belajar agama yang
beragam dan penuh dengan perbedaan pendapat antar para ulama maka
seharusnya kita menghormati pula
pendapat orang lain sepanjang dalam pelaksanaan amal ibadat yang berdasarkan
hukum Islam.
Mencoba secara bertahap pelaksanaan ajaran agama dan memilih
yang paling mudah terlebih dahulu sebelum tingkatan yang lebih berat dan
tinggi. Dahulukan yang wajib baru berusaha melaksanakan sunnah-sunnah dan
mubah. Menjauhi hal-hal yang haram dengan sekuat tenaga.
Demikian beberapa uraian singkat berkaitan dengan materi
kajian kita hari ini dan masih banyak aspek lagi yang dapat dikembangkan. Mohon
maaf bila kurang berkenan. Yang benar datang dari Allah subhanahu wata’ala
sedangkan yang salah datang dari diri kami dan syaithan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar