Minggu, 07 April 2013

Memahami Jenjang Belajar Ilmu Keislaman






Bila Anda pelajar ilmu pengetahuan keislaman yang pernah belajar hadits atau kitab-kitab sunnah pasti akan menemui rangkaian mata rantai (sanad) para ulama yang meriwayatkan hadits dalam kitab-kitab tersebut. Rangkaian sanad periwayatan tersebut harus dilewati dan dibaca terlebih dahulu sebelum kita sampai pada hadits yang dituju atau yang disebut sebagai matan. Agar lebih jelas ada baiknya kita baca riwayat berikut sebagai contoh :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Hadits ini dapat dibaca dalam kitab Shahih Al-Bukhari bab Halawatul Iman berisi hadits tentang indikator dalam diri seorang yang dapat merasakan manisnya Iman.

Sebelum kita baca hadits ini pasti kita akan katakan : “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda”. Apa betul kita mendengar hadits ini disabdakan oleh Beliau dan kenapa kita berani mengatakan dengan yakin bahwa Beliau bersabda seakan kita mendengar langsung ?

Tentu saja kita tidak mendengar langsung berhadapan dengan beliau sebab kita hidup berabad-abad setelah wafatnya beliau. Akan tetapi kita dapatkan hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ia pun mendengar periwayatan hadits ini dari gurunya dan dalam riwayat diatas gurunya tersebut adalah Muhammad bin al Mutsanna. Sebelum memberikan hadits ini kepada Bukhari dulu Muhammad bin al Mutsanna pun mendengar hadits ini dari gurunya juga yaitu Abdul Wahhab ats Tsaqafi. Abdul Wahhab mendengar hadits ini dari Ayyub dan Ayyub mendengar hadits ini dari Abu Qilabah sedangkan Abu Qilabah mendapatkannya dari Anas dan Anas sebagai seorang Shahabat mendengar hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kalau mau dibalik juga bisa yaitu dari Rasulullah kepada Anas dari Anas ke Abu Qilabah dan Abu Qilabah terus ke Ayyub demikian terus hingga Muhammad al Mutsanna dan kemudian disampaikan langsung kepada Imam Bukhari. Beliau pun menuliskan hadits ini dalam kitab Shahihnya yang kita kenal kemudian dengan Shahih al Bukhari.

Sedangkan kita saat ini dengan mudah mendapatkan hadits ini dari kitab tersebut sehingga menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata ini dan itu sekalipun kita tak pernah berjumpa Beliau dan mendengar langsung bahwa Beliau mengucapkan hadits ini. Hal sama juga bisa kita fahami pada ratusan ribu hadits lainnya yang kita jumpai pada kitab-kitab hadits yang sangat banyak lainnya.

Yang jelas bahwa kita selaku pelajar hadits atau ilmu keislaman lainnya harus memahami bahwa hadits-hadits itu sampai kepada kita dengan jembatan dari rangkaian para perawi hadits tersebut yang dikenal dengan sebutan sanad hadits. Jadi bukan terbit begitu saja atau turun dari langit dan menghampiri kita di dunia.Baik sanad hadits maupun matannya keduanya merupakan objek pembahasan dalam ilmu hadits. Bila konsentrasi pada sanad maka ilmunya disebut ilmu riwayah sedangkan bila konsentrasi pada matan maka namanya ilmu hadits dirayah.

Biasanya seorang pelajar hadits akan menjelajahi secara keseluruhan kitab-kitab hadits utama mulai dari Shahih Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’ie, Ibnu Majah yang dikenal sebagai Kutubus Sittah sehingga akan terbiasa dengan pola belajar hadits berikut jalan sanadnya bahkan dapat hafal dengan baik siapa gerangan setiap perawi hadits yang disebutkan dalam sanad tersebut.

Membaca dan proses menjelajah hadits dengan pola baca kitab-kitab ini akan sangat membantu mempermudah pembelajaran ilmu hadits berikutnya atau yang juga populer dengan sebutan ilmu mushthalah hadits. Bahkan tidak berlebihan kiranya bila saya katakan bahwa orang yang hendak belajar ilmu hadits atau mushthalah hadits maka harus diprasyaratkan kadar yang memadai dalam pengetahuan dan bacaan pada kitab-kitab hadits tersebut bukan hanya sekedar telah membaca hadits-hadits yang banyak tanpa disertai dengan pembacaan sanadnya.

Ini pulalah yang berlaku pada beberapa ilmu lainnya seperti Ulumul Qur’an, Ushul Fiqh dan Balaghah. Lebih lanjut lagi bidang ilmu perbandingan seperti fiqh muqaran, ushul fiqh muqaran dan qawa’id fiqhiyyah. Sebelum seorang pelajar memulai belajar ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan pengalaman dan penjelajahan atas bahan utama atau prasyarat pembelajarannya.
Contoh dalam ilmu hadits sudah saya kemukakan tadi. Sedangkan dalam ilmu Ushul Fiqh misalnya maka bagaimana mungkin  seseorang dapat mencernanya dengan baik bila tidak pernah menjelajah masalah-masalah Fiqh yang memadai dengan pembahasan dalil dan pendapat para Ahli Fiqh. Ataupun dalam Balaghah tidak mungkin ia dapat merasakan manis dan bermanfaatnya ilmu tersebut bila tidak memiliki pengalaman menjelajahi dan menganalisa teks-teks Alqur’an, Hadits dan Syair-syair Arab secara memadai pula.

Apabila proses pendahuluan ini tidak dilewati dengan baik maka akan sulit memahami dan mempraktekkan dengan baik ilmu-ilmu lanjutan tadi. Sedangkan bila tetap dipaksakan akan terjadi seperti yang sering saya perhatikan pada santri atau mahasiswa saya berupa lambat dan sulitnya memahami kaidah ilmu seperti ilmu mushthalah, ulumul qur’an maupun ushul fiqh. Wallahu A’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar