Bila Anda pelajar ilmu pengetahuan
keislaman yang pernah belajar hadits atau kitab-kitab sunnah pasti akan menemui
rangkaian mata rantai (sanad) para ulama yang meriwayatkan hadits dalam
kitab-kitab tersebut. Rangkaian sanad periwayatan tersebut harus dilewati dan
dibaca terlebih dahulu sebelum kita sampai pada hadits yang dituju atau yang
disebut sebagai matan. Agar lebih jelas ada baiknya kita baca riwayat berikut
sebagai contoh :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Hadits
ini dapat dibaca dalam kitab Shahih Al-Bukhari bab Halawatul Iman berisi hadits
tentang indikator dalam diri seorang yang dapat merasakan manisnya Iman.
Sebelum
kita baca hadits ini pasti kita akan katakan : “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda”. Apa betul kita mendengar hadits ini disabdakan oleh Beliau
dan kenapa kita berani mengatakan dengan yakin bahwa Beliau bersabda seakan
kita mendengar langsung ?
Tentu saja kita tidak mendengar langsung
berhadapan dengan beliau sebab kita hidup berabad-abad setelah wafatnya beliau.
Akan tetapi kita dapatkan hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab
Shahihnya. Ia pun mendengar periwayatan hadits ini dari gurunya dan dalam
riwayat diatas gurunya tersebut adalah Muhammad bin al Mutsanna. Sebelum memberikan
hadits ini kepada Bukhari dulu Muhammad bin al Mutsanna pun mendengar hadits
ini dari gurunya juga yaitu Abdul Wahhab ats Tsaqafi. Abdul Wahhab mendengar
hadits ini dari Ayyub dan Ayyub mendengar hadits ini dari Abu Qilabah sedangkan
Abu Qilabah mendapatkannya dari Anas dan Anas sebagai seorang Shahabat
mendengar hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kalau mau dibalik juga bisa yaitu dari
Rasulullah kepada Anas dari Anas ke Abu Qilabah dan Abu Qilabah terus ke Ayyub
demikian terus hingga Muhammad al Mutsanna dan kemudian disampaikan langsung
kepada Imam Bukhari. Beliau pun menuliskan hadits ini dalam kitab Shahihnya
yang kita kenal kemudian dengan Shahih al Bukhari.
Sedangkan kita saat ini dengan mudah
mendapatkan hadits ini dari kitab tersebut sehingga menyebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata ini dan itu sekalipun kita tak
pernah berjumpa Beliau dan mendengar langsung bahwa Beliau mengucapkan hadits
ini. Hal sama juga bisa kita fahami pada ratusan ribu hadits lainnya yang kita
jumpai pada kitab-kitab hadits yang sangat banyak lainnya.
Yang jelas bahwa kita selaku pelajar
hadits atau ilmu keislaman lainnya harus memahami bahwa hadits-hadits itu
sampai kepada kita dengan jembatan dari rangkaian para perawi hadits tersebut
yang dikenal dengan sebutan sanad hadits. Jadi bukan terbit begitu saja atau
turun dari langit dan menghampiri kita di dunia.Baik sanad hadits maupun
matannya keduanya merupakan objek pembahasan dalam ilmu hadits. Bila konsentrasi
pada sanad maka ilmunya disebut ilmu riwayah sedangkan bila konsentrasi pada
matan maka namanya ilmu hadits dirayah.
Biasanya seorang pelajar hadits akan
menjelajahi secara keseluruhan kitab-kitab hadits utama mulai dari Shahih
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’ie, Ibnu Majah yang dikenal sebagai
Kutubus Sittah sehingga akan terbiasa dengan pola belajar hadits berikut jalan
sanadnya bahkan dapat hafal dengan baik siapa gerangan setiap perawi hadits
yang disebutkan dalam sanad tersebut.
Membaca dan proses menjelajah hadits dengan
pola baca kitab-kitab ini akan sangat membantu mempermudah pembelajaran ilmu
hadits berikutnya atau yang juga populer dengan sebutan ilmu mushthalah hadits.
Bahkan tidak berlebihan kiranya bila saya katakan bahwa orang yang hendak
belajar ilmu hadits atau mushthalah hadits maka harus diprasyaratkan kadar yang
memadai dalam pengetahuan dan bacaan pada kitab-kitab hadits tersebut bukan
hanya sekedar telah membaca hadits-hadits yang banyak tanpa disertai dengan
pembacaan sanadnya.
Ini pulalah yang berlaku pada beberapa
ilmu lainnya seperti Ulumul Qur’an, Ushul Fiqh dan Balaghah. Lebih lanjut lagi
bidang ilmu perbandingan seperti fiqh muqaran, ushul fiqh muqaran dan qawa’id
fiqhiyyah. Sebelum seorang pelajar memulai belajar ilmu-ilmu tersebut sangat
diperlukan pengalaman dan penjelajahan atas bahan utama atau prasyarat pembelajarannya.
Contoh dalam ilmu hadits sudah saya
kemukakan tadi. Sedangkan dalam ilmu Ushul Fiqh misalnya maka bagaimana
mungkin seseorang dapat mencernanya
dengan baik bila tidak pernah menjelajah masalah-masalah Fiqh yang memadai
dengan pembahasan dalil dan pendapat para Ahli Fiqh. Ataupun dalam Balaghah
tidak mungkin ia dapat merasakan manis dan bermanfaatnya ilmu tersebut bila
tidak memiliki pengalaman menjelajahi dan menganalisa teks-teks Alqur’an,
Hadits dan Syair-syair Arab secara memadai pula.
Apabila proses pendahuluan ini tidak
dilewati dengan baik maka akan sulit memahami dan mempraktekkan dengan baik
ilmu-ilmu lanjutan tadi. Sedangkan bila tetap dipaksakan akan terjadi seperti
yang sering saya perhatikan pada santri atau mahasiswa saya berupa lambat dan
sulitnya memahami kaidah ilmu seperti ilmu mushthalah, ulumul qur’an maupun
ushul fiqh. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar