Cinta dalam Hidup Kita.
Zaman ini begitu lekat dengan karya seni atau lagu bertema cinta. Rasanya tak ada penyanyi yang tak mendendangkan lagu bertema cinta. Entah itu berisi suasana hati yang riang ceria karena sedang menemukan sesuatu yang disebutnya cinta ataupun ungkapan galau dan kesedihan karena diputus dari cinta. Pendek kata favoritnya zaman ini sesuatu yang katanya cinta, cinta dan cinta.
Bahwa cinta
adalah faktor yang sangat penting dalam jiwa untuk mendorong diri mengerjakan
sesuatu, meraih sebuah impian,mencapai sebuah tujuan,mewujudkan keinginan. Karena
ada cinta yang besar terhadap sesuatu maka dengan mudah pengorbanan dilakukan demi
mendapatkan apa yang diinginkannya. Walaupun didepan tegak berbagai penghalang,
dihadang berbagai hambatan tidak akan menyurutkan langkah dan upaya mencapai
cita-cita.
Semua bentuk
penghalang dan kendala tidak akan dihiraukan bila memang cinta telah bersemi
dalam hati. Kata para pecinta : gunung tinggi kan kudaki, samudra dalam kan
kuselami, lautan luas kan kusebrangi, tebing terjal kan kulintasi, asalkan
tercapai apa yang tersemat dalam asa. Bahkan cukup banyak terjadi sesuatu yang
secara rasional sulit terwujud dan bisa jadi tak mungkin dalam pandangan akal
dapat terlaksana karena dorongan cinta yang luar biasa dalam jiwa penggapainya.
Oleh sebab itu
cinta sangat penting dan mempunyai peranan yang besar dalam menyelesaikan
pekerjaan dan tugas kita. Alangkah baiknya bila sebelum mengerjakan sesuatu
ditimbulkan terlebih dahulu rasa cinta dalam diri orang yang melaksanakannya. Itulah
mungkin salahsatu hikmah adanya targhib – motivasi – dalam ayat-ayat Alqur’an
atau hadits-hadits Rasulullah yang berbentuk penjelasan atas fadhail atau
keistimewaan suatu amal perbuatan sekalipun sebenarnya sebuah amal itu wajib
hukumnya dikerjakan apakah ada cinta atau pun tidak.
Kewajiban Sholat
5 waktu contohnya. Ibadah yang tidak ada tawar menawar dalam kewajibannya dalam
segala sifat dan kondisi. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
membangun cinta dan kesenangan bagi jiwa pelaksananya dengan memberikan
gambaran fadhilah atau keutamaannya dengan berkata : ia laksana sebuah sungai
yang mengalir didekat rumah seseorang dari kamu dan 5 kali dalam sehari kamu
mandi padanya maka adakah lagi kira-kira kotoran yang menempel dibadan orang
tersebut ? demikian pula Sholat. Dan begitulah cara agama ini menyuruh kita
agar mempraktekkannya dengan penuh cinta.
Cinta yang
tertanam dalam hati terhadap sesuatu tugas pun akan membawa pengaruh yang
sangat besar atas keberhasilan tugas tersebut dan bahkan dapat mendatangkan
banyak hal luar biasa. Berbeda halnya ketika seseorang hanya mengerjakan suatu
tugas atas paksaan belaka atau dengan diliputi rasa takut atas sanksi saja atau
sekedar melepaskan tanggung jawab belaka.
Tauhid dan Cinta.
Dalam bahasan
tauhid pun masalah cinta ini tak luput dibicarakan bahkan menempati posisi
pembahasan yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena cinta atau yang juga
disebut hubb atau mahabbah adalah salahsatu jenis amal qalbi (hati) yang harus
diarahkan hanya kepada arahnya yang benar dan tepat. Bahkan kesalahan dalam
menempatkan cinta bisa berakibat fatal dalam merusak tauhid kita selaku hamba
Allah subhanahu wata’ala.
Oleh sebab itu
rasa cinta atau mahabbah itu adalah yang diserahkan setinggi-tinginya pada
Allah subhanahu wata’ala dan RasulNya tidak ada yang lain. Tidak ada cinta lain
yang lebih tinggi selain cinta yang ditundukkan kepada Allah dan Rasulnya.
Kalaupun ada cinta pada sesama atau selain Nya maka cinta itu ada dalam
kerangka cinta pada keduanya dan tidak boleh berseberangan dengannya.
Itulah sebabnya
kenapa Allah menegur dalam at-Taubah : 24 :
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa
, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan
dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan
NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Adalah sesuatu
yang fitri dan alami bila kita mencintai mereka orangtua kita, anak-anak kita,
harta dan usaha kita akan tetapi semua hal yang dicinta ini tidak boleh
mengalahkan cinta hakiki yang membuat kita hanya mempersembahkan semua rasa
cinta itu kepada Allah semata. Hal ini juga berarti bahwa ketika semua rasa
cinta akan hal-hal tersebut diatas nyata-nyata bertentangan dengan cinta kepada
Allah dan Rasulnya maka cinta kepada Allah dan Rasulnya lah yang harus didahulukan.
Sama seperti
yang telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
dialognya bersama Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu : “ pada suatu ketika
kami bersama Rasulullah dan ia menggamit tangan Umar, maka Umar berkata kepada
Rasulullah : wahai Rasulullah, sungguh engkau paling kucintai dari segala
sesuatu kecuali dari diriku sendiri, maka Rasulullah berkata : tidak, demi
Allah yang jiwaku ada dalam genggamannya : (tak sempurna cintamu itu) hingga
Aku lebih engkau cintai dari dirimu, maka Umar pun berkata : sesungguhnya
sekarang demi Allah engkau lebih kucintai dari diriku sendiri, maka berkatalah
Rasulullah : sekaranglah wahai umar ( sempurna cintamu itu ).
Kecintaan yang
besar kepada Allah dan Rasulnya inilah yang mendorong para shahabat dan kaum
muslimin sepanjang zaman berprestasi dan berkorban untuk agama dan ummatnya. Rasa
cinta yang besar telah membuat Bilal bin Rabah sabar menghadapi siksaan
majikannya ditengah panasnya padang pasir Makkah, Ali bin Abi Thalib rela menggantikan posisi
Rasul diatas tempat tidurnya ketika beliau akan hijrah. Cinta pula yang membuat
Khubaib rela terpotong-potong tubuhnya ditangan Kuffar Quraisy sekalipun mereka
menawarkan kesenangan asalkan ia mau berkhianat kepada Muhammad yang begitu
dicintainya.
Maka sekali lagi
cinta dalam ajaran agama ini bukankah sesuatu yang remeh dan kecil. Ia bukan
sesuatu yang boleh dipermainkan begitu saja. Salah menempatkannya dapat menodai
kesempurnaan tauhid dan keimanan kita. Sudah seharusnya kita tempatkan ia pada
posisinya yang benar. Posisi teratas dan terutama dalam setiap langkah dan
tindakan kita.
Cinta tidak
boleh dijadikan sekedar mainan kata-kata dalam lagu-lagu kita apalagi dengan
konsepsi cinta yang haram dan tak ada nilainya karena hanya berputar disekitar
syahwat pada kekasih dunia – haram pula statusnya - karena itu degradasi atas
kedudukannya yang agung.
Tanda Sempurnanya Cinta
Seharusnyalah
cinta itu tampak dalam tanda-tandanya sebagaimana disebutkan para Ulama :
Satu : cinta itu mendorong kita
untuk selalu ingat dan rindu bertemu Allah serta mendapatkan ridhanya. Dalam
mahabbah terhadap Rasul pun harus muncul kerinduan bertemu dengannya kelak di
surga.
Dua : sedia berkorban asalkan
agama Allah ini tegak dan jaya. Sedia berkorban asalkan marwah Rasulullah tegak
dan tak boleh dilecehkan. Berkorban apa saja seperti kata saudara-saudara kita
: “bendha, bahu, pikir dan lek perlu nyawane pisan “ – bil amwal wa bil anfus.
Tiga : dan ini sangat penting :
siap menjalankan perintah-perintahnya serta rela meninggalkan semua yang
dilarangnya. Ini mungkin puncak dari kecintaan itu karena ia telah berhasil
menjelma dari sekedar klaim puji-pujian atau kata-kata menjadi praktek nyata
dipanggung kehidupan kita.
Empat : bersedia menolong
agama dan syariatNya serta Sunnah-sunnah
Rasulnya. Apa arti dari sebuah kata-kata cinta bila kita tak mau berjuang
membela dan mempertahankannya. Apalagi ditengah serbuan berbagai faham dan
kekuatan saat ini yang tidak senang Agama Allah ini menang dan eksis ditengah
percaturan dunia.
Inilah sekelumit
dari konsepsi cinta dalam Islam nan agung ini. Bisa jadi berat terdengarnya dan
begitu berat namun itulah yang seyogyanya harus dilaksanakan bila benar dan
jujur cinta kita pada Allah dan Rasulnya. Yaa Allah berikan Kami cinta Mu,
tolong Kami untuk menyerahkan cinta Kami pada Mu, dan untuk dapatkan cinta
orang-orang yang mencintai Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar