Senin, 04 Desember 2017

Imam Syafi’ie : Imam yang menggabungkan ilmu Abu Hanifah, Malik dan Ahmad (Bagian I)





Sejarah Islam sepanjang 14 abad lebih telah melahirkan banyak sekali tokoh luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk bidang ilmu pengetahuan yang sangat subur. Begitu banyak para Ulama berikut kitab-kitabnya. Diantara bintang cemerlang yang terus berkilau gemerlap hingga sekarang adalah Muhammad ibn Idris asy-Syafi'ie yang lebih dikenal oleh kita di tanah air dengan sebutan Imam Syafi'ie. Kemilau cahayanya tidak berhenti menerangi kaum muslimin sekalipun beliau telah wafat berabad lamanya. Hasil perasan otak dan jiwanya serta berkah ilmunya telah mewarnai kehidupan masyarakat muslim Indonesia dan nusantara dalam beramal dan mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Siapakah beliau dan bagaimana kehidupan serta ilmunya mari kita kenang melalui tulisan ringkas berikut hasil terjemahan alfaqir dari sebuah artikel majalah lama berbahasa Arab.


Kehidupan dan Ilmunya.

Namanya Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ … bertemu nasabnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada kakeknya yaitu Abdu Manaf. Imam Syafi’ie dilahirkan di Gazza Palestina tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H.

Tumbuh dalam keadaan yatim dan faqir. Kecemerlangan otaknya telah nampak sejak kecil. Waktu itu ia telah dapat menyelesaikan hafalan  Alqur’an kemudian mulai belajar hadits untuk selanjutnya pergi ke perkampungan Bani Hudzail yang terkenal sebagai suku yang terfasih bahasa arabnya. Ia datang ke perkampungan suku tersebut untuk belajar bahasa arab dan mereguk keindahan bahasa dan sastranya. 

Pengalaman belajar bahasanya ini merupakan faktor yang sangat dominan dalam membentuk kemahiran nya dalam bahasa dan kesusastraan arab. Sampai al-Ashmaie mengatakan tentang Imam Syafii … syair-syair Hudzail dikoreksi oleh seorang pemuda dari Quraisy yang bernama Muhammad ibn Idris (3) dan pada ketika ia berada di Hudzail pula mendapatkan keterampilan melempar tombak dan anak panah serta ketangkasan berkuda. Dengan demikian Imam Syafii telah menyempurnakan persiapannya dalam bidang ilmu syariah, ilmu bahasa, dan juga ilmu kewiraan.

Diantara tradisi ulama salaf – rahimahumullah – adalah mereka mulai menuntut ilmu dari ulama yang ada di negeri mereka sendiri hingga bila selesai dari ulama tersebut maka mereka akan mengadakan perjalanan ke negeri lain untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Ada diantara mereka yang mengadakan perjalanan jauh demi untuk menjumpai seorang syaikh atau ingin mengkonfirmasi mata rantai sanad sebuah hadits atau ingin pembahasan secara lebih mendetail tentang sebuah masalah ilmiah. Imam Syafii pun demikian pula halnya. Ia memulai belajarnya di Mekkah dan berguru pada Muftinya yaitu Muslim ibn Khalid az-Zinji hingga ia diberi izin untuk berfatwa ketika umurnya masih 15 tahun.

Kemudian ia menuju Madinah disana ia berguru pada Imam Malik ibn Anas mendengar langsung al-Muwaththa’  mengambil fiqhnya dan senantiasa mendampinginya hingga Imam Malik wafat.
Ketika berada di Yaman bertemu dengan Umar ibn Abi Salamah, sahabat Imam al-Auzaie maka dapatlah ia mengambil ilmu imam al-Auzaie, demikianpula beliau bertemu dengan Yahya ibn Hasan murid Laits ibn Saad pakar Fiqh Mesir ia pun dapat mereguk fiqh imam ini.

Pada tahun 184 H ia dibawa ke Baghdad karena tertuduh melakukan aksi anti Daulah Abbasiyah tetapi akhirnya ia bebas dari tuduhan tersebut. Kedatangannya ke Baghdad ini menyebabkan ia dapat bertemu dengan ahli fiqh Iraq Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafii pun mendampinginya membaca buku-bukunya dan meriwayatkan ilmu darinya serta belajar tentang berbagai masalah fiqh, kemudian kembali ke Mekkah dan ada diriwayatkan darinya sebuah perkataan (4) : “ kubawa dari Muhammad ibn Hasan segerobak buku yang berisi apa yang kudengar darinya.

Dengan demikian tergabunglah pada diri Imam Syafii fiqh Hijaz yang didominasi oleh dalil naqli dan fiqh Iraq yang didominasi oleh orientasi dalil aqli. Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar berkata (5): “ tokoh paling tinggi dalam hal fiqh dan naql di Madinah adalah Imam Malik ibn Anas sedangkan Imam Syafii telah pergi kepadanya untuk menuntut ilmu, dan senantiasa mendampinginya dan telah mengambil ilmunya, dan tokoh paling tinggi dalam fiqh di Iraq adalah Imam Abu Hanifah sedangkan Imam Syafii telah pula mengambil ilmu dari salah seorang sahabatnya yaitu Muhammad ibn al-Hasan “.

Aku katakan : “ Imam Syafi’i kembali dari Iraq menuju Makkah membawa buku-buku ahli Iraq kemudian terus mempelajari dan berfatwa dengannya, ia bertemu pula dengan para ulama dalam musim haji selama sembilan tahun kelihatanlah pada saat itu kematangan ilmiah dan pemikirannya yang cemerlang. Ia telah  mengambil sistem tersendiri dallam fiqhnya. Di Masijidil Haram ia membentuk sebuah lingkar studi (halaqah) dan memfokuskan perhatiannya pada pembahasan sebuah kitab, mengajarkan kepada murid-muridnya cara mengambil keputusan hukum serta sarana-sarananya dan membuat studi komparatif antara sumber-sumber hukum fiqh.

Pada tahun 194 H ia datang uuntuk yang kedua kalinya ke Baghdad, tapi ia tidak kerasan disana disebabkan ia melihat kedekatan Khalifah al-Makmun dengan kaum Mu’tazilah dan kecendrungan sang Khalifah kepada pola pikir dan pendapat-pendapat mereka, setelah dua tahun di Baghdad ini ia kembali ke Mekkah. Akhir tahun 199 H ia pindah ke Mesir dan menetap disana kemudian mulailah ia mengajar dan berfatwa serta menyusun karya tulis dan mendiktekannya kepada para muridnya. Hingga ia dijemput ajalnya pada tahun 204 H pada umur mencapai 54 tahun.

Imam Syafi’i adalah satu diantara bintang para ulama yang dapat menggabungkan dalam dirinya beberapa ilmu. Ia dianugrahi ilmu bahasa arab, ilmu alqur’an, fiqh hadits dan ilmu mengambil keputusan hukum.
Arrabi’ ibn Sulaiman (6) mengatakan : “ Syafii rahimahullah mulai duduk di lingkar studinya setelah shalat subuh maka datanglah kepadanya para peminat studi alqur’an, apabila matahari telah terbit mereka selesai dan datang pula setelah itu para mahasiswa hadits, mereka tanyakan padanya tentang pengertian hadits baik makna maupun tafsirnya. Apabila matahari telah tinggi maka selesailah mereka dan datang pula orang ke majlis itu untuk diskusi dan dialog. Apabila waktu dhuha telah berlalu masing-masing mereka pulang dan giliran selanjutnya adalah para peminat ilmu bahasa arab, aruudh, nahwu dan sharaf dan syair , begitulah seterusnya hingga dekat tengah hari.

Imam Ahmad berkata tentang dirinya (Imam Syafi’i) : (7) “ ia telah meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya Allah mengutus untuk ummat ini diawal tiap satu abad seorang yang akan menegakkan urusan-urusan agamanya (8), adalah Umar ibn Abdul Aziz yang menempati tempat pada awal abad yang pertama dan kuharapkan yang menempati posisi tersebut pada awal abad kedua adalah Syafii”.

Daud ibn Ali berkata : “ Syafii memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh yang lain yaitu kemuliaan nasab , kebagusan dien, dan keyakinan, kemurahan hati, pengetahuan tentang hadits yang kuat dan lemah, yang nasikh dan mansukh, hafalan qur’an dan hadits, biografi para khalifah dan keterampilan membuat karya tulis yang baik (9).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar