Sejarah Islam sepanjang 14 abad lebih telah melahirkan banyak sekali tokoh luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk bidang ilmu pengetahuan yang sangat subur. Begitu banyak para Ulama berikut kitab-kitabnya. Diantara bintang cemerlang yang terus berkilau gemerlap hingga sekarang adalah Muhammad ibn Idris asy-Syafi'ie yang lebih dikenal oleh kita di tanah air dengan sebutan Imam Syafi'ie. Kemilau cahayanya tidak berhenti menerangi kaum muslimin sekalipun beliau telah wafat berabad lamanya. Hasil perasan otak dan jiwanya serta berkah ilmunya telah mewarnai kehidupan masyarakat muslim Indonesia dan nusantara dalam beramal dan mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Siapakah beliau dan bagaimana kehidupan serta ilmunya mari kita kenang melalui tulisan ringkas berikut hasil terjemahan alfaqir dari sebuah artikel majalah lama berbahasa Arab.
Kehidupan dan Ilmunya.
Namanya Abu Abdillah
Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ … bertemu nasabnya dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pada kakeknya yaitu Abdu Manaf. Imam Syafi’ie dilahirkan di Gazza Palestina tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H.
Tumbuh dalam keadaan yatim dan faqir.
Kecemerlangan otaknya telah nampak sejak kecil. Waktu itu ia telah dapat
menyelesaikan hafalan Alqur’an kemudian
mulai belajar hadits untuk selanjutnya pergi ke perkampungan Bani Hudzail yang
terkenal sebagai suku yang terfasih bahasa arabnya. Ia datang ke perkampungan
suku tersebut untuk belajar bahasa arab dan mereguk keindahan bahasa dan
sastranya.
Pengalaman belajar bahasanya ini merupakan faktor yang sangat
dominan dalam membentuk kemahiran nya dalam bahasa dan kesusastraan arab.
Sampai al-Ashma’ie mengatakan tentang Imam Syafi’i … syair-syair Hudzail dikoreksi oleh seorang pemuda dari Quraisy yang bernama Muhammad ibn Idris (3) dan pada ketika ia berada
di Hudzail pula mendapatkan
keterampilan melempar tombak dan anak panah serta ketangkasan berkuda. Dengan
demikian Imam
Syafi’i telah menyempurnakan
persiapannya dalam bidang ilmu syariah, ilmu bahasa, dan juga ilmu kewiraan.
Diantara tradisi ulama salaf –
rahimahumullah – adalah mereka mulai menuntut ilmu dari ulama yang ada di
negeri mereka sendiri hingga bila selesai dari ulama tersebut maka mereka akan
mengadakan perjalanan ke negeri lain untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Ada diantara mereka yang mengadakan perjalanan jauh demi untuk menjumpai
seorang syaikh atau ingin mengkonfirmasi mata rantai sanad sebuah hadits atau ingin pembahasan secara lebih
mendetail tentang sebuah masalah ilmiah. Imam Syafi’i pun demikian pula halnya. Ia memulai belajarnya di Mekkah dan berguru pada Muftinya yaitu Muslim ibn Khalid az-Zinji hingga ia diberi izin untuk berfatwa ketika umurnya masih 15
tahun.
Kemudian ia menuju Madinah disana ia berguru
pada Imam Malik ibn Anas mendengar langsung al-Muwaththa’ mengambil fiqhnya dan senantiasa
mendampinginya hingga Imam Malik wafat.
Ketika berada di Yaman bertemu dengan Umar ibn Abi Salamah, sahabat Imam al-Auza’ie maka dapatlah ia
mengambil ilmu imam al-Auza’ie,
demikianpula beliau bertemu dengan Yahya ibn Hasan murid Laits ibn Sa’ad pakar Fiqh Mesir ia pun dapat mereguk fiqh imam ini.
Pada tahun 184 H ia dibawa ke Baghdad karena tertuduh
melakukan aksi anti Daulah Abbasiyah tetapi akhirnya ia bebas dari tuduhan tersebut.
Kedatangannya ke Baghdad ini menyebabkan ia dapat bertemu dengan ahli fiqh Iraq Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i pun mendampinginya membaca buku-bukunya dan meriwayatkan ilmu
darinya serta belajar tentang berbagai masalah fiqh, kemudian kembali ke Mekkah dan ada
diriwayatkan darinya sebuah perkataan (4) : “ kubawa dari Muhammad ibn Hasan segerobak buku yang
berisi apa yang kudengar darinya”.
Dengan demikian tergabunglah pada diri Imam Syafi’i fiqh Hijaz yang didominasi oleh
dalil naqli dan fiqh Iraq yang didominasi oleh orientasi dalil aqli. Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar berkata (5): “ tokoh
paling tinggi dalam hal fiqh dan naql di Madinah adalah Imam Malik ibn Anas sedangkan Imam Syafi’i telah pergi kepadanya untuk menuntut ilmu, dan senantiasa
mendampinginya dan telah mengambil ilmunya, dan tokoh paling tinggi dalam fiqh
di Iraq
adalah Imam Abu Hanifah sedangkan Imam Syafi’i telah pula mengambil
ilmu dari salah seorang sahabatnya yaitu Muhammad ibn al-Hasan “.
Aku katakan : “ Imam Syafi’i kembali dari Iraq menuju Makkah membawa buku-buku
ahli Iraq
kemudian terus mempelajari dan berfatwa dengannya, ia bertemu pula dengan para
ulama dalam musim haji selama sembilan tahun kelihatanlah pada saat itu
kematangan ilmiah dan pemikirannya yang cemerlang. Ia telah mengambil sistem tersendiri dallam fiqhnya.
Di Masijidil Haram ia membentuk sebuah
lingkar studi (halaqah) dan memfokuskan perhatiannya pada pembahasan sebuah
kitab, mengajarkan kepada murid-muridnya cara mengambil keputusan hukum serta
sarana-sarananya dan membuat studi komparatif antara sumber-sumber hukum fiqh.
Pada tahun 194 H ia datang uuntuk yang
kedua kalinya ke Baghdad, tapi ia tidak kerasan disana disebabkan ia melihat kedekatan
Khalifah al-Makmun dengan kaum Mu’tazilah dan
kecendrungan sang Khalifah kepada pola pikir dan pendapat-pendapat mereka,
setelah dua tahun di Baghdad ini ia kembali ke Mekkah. Akhir tahun 199 H ia pindah ke Mesir dan menetap disana kemudian mulailah ia
mengajar dan berfatwa serta menyusun karya tulis dan mendiktekannya kepada para
muridnya. Hingga ia dijemput ajalnya pada tahun 204 H pada umur mencapai 54
tahun.
Imam Syafi’i adalah satu diantara bintang para ulama yang
dapat menggabungkan dalam dirinya beberapa ilmu. Ia dianugrahi ilmu bahasa
arab, ilmu alqur’an, fiqh hadits dan ilmu mengambil keputusan hukum.
Arrabi’ ibn Sulaiman (6) mengatakan : “ Syafi’i rahimahullah mulai
duduk di lingkar studinya setelah shalat subuh maka datanglah kepadanya para
peminat studi alqur’an, apabila matahari telah terbit mereka selesai dan datang
pula setelah itu para mahasiswa hadits, mereka tanyakan padanya tentang
pengertian hadits baik makna maupun tafsirnya. Apabila matahari telah tinggi
maka selesailah mereka dan datang pula orang ke majlis itu untuk diskusi dan
dialog. Apabila waktu dhuha telah berlalu masing-masing mereka pulang dan
giliran selanjutnya adalah para peminat ilmu bahasa arab, aruudh, nahwu dan
sharaf dan syair , begitulah seterusnya hingga dekat tengah hari.
Imam Ahmad berkata tentang dirinya (Imam Syafi’i) : (7)
“ ia telah meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya Allah mengutus untuk
ummat ini diawal tiap satu abad seorang yang akan menegakkan urusan-urusan
agamanya (8), adalah Umar ibn Abdul Aziz yang menempati tempat pada awal abad yang pertama dan kuharapkan
yang menempati posisi tersebut pada awal abad kedua adalah Syafi’i”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar