Senin, 28 Januari 2013

Salah Prioritas dalam praktek Keislaman Kita.





Adanya tingkatan dan status yang berbeda antara satu bentuk ibadah atau amal dengan amal lainnya. Istilah hukum islam atau fiqh membagi segala amal yang dilakukan oleh seorang muslim menjadi lima status. Wajib,Sunnah,Haram, Makruh dan Mubah. Pembagian status tersebut didasarkan atas dalil dalil yang mendasari hukum perbuatan itu sendiri.

Dalil yang berupa ayat alqur’an atau hadits Nabi ada yang mengandung perintah dan ada yang mengandung larangan.Bila dalil itu mengandung perintah ada perintah yang begitu tegas dan gamblang menyatakan perintah sehingga melahirkan sebuah kewajiban melaksanakannya.

Tetapi ada pula perintah yang disertai dengan beberapa alasan lain yang menyebabkan tingkat ketegasan perintah tersebut berkurang sehingga konsekwensinya tidaklah melahirkan kewajiban seperti jenis sebelumnya.

Demikian pula halnya sebuah dalil yang berupa larangan adakalanya menyatakan larangan tegas ada pula yang tidak tegas atau dapat dipengaruhi faktor lain yang menyebabkan ketegasannya berkurang.

Ada pula sebuah amal yang tidak ditentukan secara langsung dan jelas statusnya karena memang tidak ada dalil yang melarang atau memerintahkannya.

Untuk menentukan tingkat ketegasan dan kegamblangan sebuah perintah atau larangan dalam sebuah dalil juga telah dikenal dengan kaidah kaidah dalam dunia hukum Islam atau Ushul Fiqh.

Demikianlah Islam dan ajaran-ajarannya yang sangat indah dan berwarna-warni ini.Sungguh sebuah keteraturan dan kerapian yang tak akan mungkin berasal dari seorang manusia yang penuh dengan keterbatasan dan kekurangan sepandai dan setinggi apapun ilmunya.Tanpa ragu kita harus meyakini semua ini datang dari Sang Maha Bijaksana Allah subhanahu wata’ala.

Sayangnya praktek keislaman kita sering kali tidak mencerminkan keindahan dan keteraturan itu.Bapak-bapak haji kita begitu bersemangat haji atau umrah berkali-kali sementara lingkungan atau tetangganya masih kumuh dan sulit mencari dana operasional madrasah atau masjidnya.

Akan halnya perempuan-perempuan kita bergitu bersemangat beribadah atau pengajian tapi tidak disiplin dengan menutup auratnya.Ada seorang ibu yang begitu telaten mengajak dan melatih anak-anaknya sholat dan bahkan berpuasa sunnah – luar biasanya sang anak jadi patuh dan terbiasa – namun ketika diajak menutup auratnya secara syar’ie ia berkilah belum siap.
               
Bukanlah hal aneh bila kita masih menemui perdebatan hangat dan bahkan bisa sampai mengantarkan kepada perseteruan antar jama’ah tentang permasalahan berapa sebenarnya jumlah raka’at sholat tarawih yang seharusnya dilaksanakan apakah 8 atau 23 ? Sehingga masalah sunnah ini dapat membuat kita menjadi mengabaikan yang wajib yaitu kewajiban bersatu dan saling menghargai antar pribadi muslim.

Mari kita perkokoh wawasan keislaman kita sehingga kita dapat dengan baik membedakan prioritas dan tingkatan antar permasalahan dan upaya praktek keislaman kita sehingga sedikit demi sedikit permasalahan ini menjadi lebih jernih dan dapat difahami ummat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar