Kamis, 07 Februari 2013

Antara Pemerdayaan dan Pemberdayaan






Calon anggota dewan atau calon pemimpin daerah yang akan maju dalam pemilihan biasanya akan berlomba membuat program yang dapat menarik hati rakyat. Diantara yang sangat jamak terjadi saat ini adalah pemberian sejumlah uang atau bantuan menjelang saat pemungutan suara. Sejumlah uang yang bisa saja dalam sebuah amplop ataupun yang disisipkan dalam paket sembako atau nasi bungkus merupakan praktek yang biasa dilakukan.


Dengan uang 50 atau 100 ribuan maka pilihan rakyat dapat disetir oleh sang calon.Bahkan muncullah praktek calo suara yang menawarkan kepada calon-calon yang ikut pemilihan suara yang dapat dibeli atau dipesan.Tentu saja banyaknya suara yang diinginkan sebanding dengan jumlah uang yang dapat disediakan.


Menjadi sangat tidak rasional kalau pada saat ini banyak masyarakat yang gaduh karena kinerja anggota dewan atau eksekutif sangat tidak memuaskan padahal mereka inilah yang telah mereka pilih sebelumnya atau sebenarnya yang lebih tepat adalah pembeli suara mereka.


Ada kalimat yang biasa kita baca dalam faktur pembelian barang yaitu : barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.Kalau kemudian rakyat resah karena melihat legislatif atau eksekutif mereka tidak memuaskan sesungguhnya mereka sedang melihat barang yang sudah mereka beli sebelumnya dan tidak dapat dikembalikan.


Alih-alih berfikir program apa yang dapat memajukan dan mensejahterakan rakyat pemilihnya  justru yang terjadi kemudian para pilihan rakyat ini lebih memfokuskan diri pada usaha mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan dahulu untuk membeli suara rakyat.Ketika kekecewaan rakyat ini dikomunikasikan kepada mereka dengan mudah mereka akan berkelit bahwa akad jual beli sudah selesai saat pemilihannya dengan transaksi 20 ribu dulu.


Inilah sungguh suatu pemerdayaan. Sehingga sudah sepantasnya dijauhi oleh para calon anggota legislatif pengusung aspirasi rakyat.Rakyat kita sungguh sudah sangat letih dengan orang-orang yang memperdayanya.Apalagi dengan rakyat marjinal kita ,orang pinggiran yang tak punya apa-apa selain cangkul atau perahu kecil dan pendayungnya atau meja lusuh kecil tempat menaruh dagangan seadanya.


Bertahun-tahun rakyat kecil petani kita hidup sengsara.Kampung-kampung nelayan kita pun tak pernah bebas dari aroma kemiskinan.Pedagang-pedagang kecil pun harus selalu siap siaga dari pengusuran dan petugas yang siap mengusirnya. Seandainya mereka para calon pengusung aspirasi ini datang dan menawarkan program dan ide-ide cemerlang untuk mencerdaskan, membantu perkembangan dan memberdayakan mereka sungguh suatu hal sangat bermanfaat dan tidak akan memperdaya.


Tantangannya adalah bagaimana merumuskan program yang dapat memberdayakan semacam itu.Kita harus berfikir mengembangkan dengan merumuskan langkah-langkah dan program pemberdayaan pemilih dan masyarakat. Mungkin dengan cara pemberdayaan ekonomi  menggunakan modal bergulir walau dengan nominal kecil dan tidak perlu agunan.Mengadakan pelatihan-pelatihan yang menghasilkan keterampilan berwirausaha sekaligus paket kelompok usaha ibu-ibu yang terus dikumpulkan dan dibina setelah pemberian modal dan berjalannya usaha.


Yang jelas program pemenangan dengan bagi-bagi duit untuk membeli suara harus ditinggalkan.Rakyat juga seharusnya sadar bahwa seamplop uang yang mereka terima itu tidak sebanding dengan nilai dan harga suara mereka untuk menentukan kesejahteraan dan kemajuan mereka. Semoga kita terus menjadi pemberdaya bukan orang yang memperdaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar