Kembali
kepada Alqur’an dan Sunnah
Idea dasar yang biasa muncul dalam wacana
dan diskusi keislaman kita saat ini adalah keharusan untuk kembali kepada
Alqur’an dan Sunnah. Konsekwensi dari pelaksanaan idea ini adalah setiap
pembicaraan atau pendapat haruslah memiliki dasar dan landasan yang kuat dari
kedua sumber Islam tersebut.Demikian pula maka segala hal yang ada saat ini
harus dikritisi dengan menggunakan kacamata keduanya apakah baik dan buruknya,
salah dan benarnya.
Komitmen yang kuat atas hal ini telah
memasuki segala bidang kehidupan.Termasuk pula didalamnya sikap kritis atas
tradisi amaliyah masyarakat dan apa yang dipelajari dalam bidang Fiqh. Sehingga
muncullah seruan agar mengambil kesimpulan hukum fiqh dan mempelajarinya
langsung dari sumbernya yaitu Alqur’an dan Sunnah.
Pada dasarnnya tentu saja semangat dan
ide ini sangatlah baik dan memang seperti itulah seharusnya. Bukankah baik
buruk dan maju mundurnya ummat ini sangat berbanding dengan kesetiaan dan
keteguhannya dalam mempedomani dan menerapkan kedua sumber utama tersebut?
Bila dikaitkan dengan Fiqh maka ia adalah
apa yang diamalkan dalam Islam dari aspek praktisnya.Sudah barang tentu
dasarnya haruslah Alqur’an dan Sunnah sehingga hubungan antara fiqh dengan
kedua pedoman tersebut amatlah erat. Fiqh itu dalil utamanya adalah ayat dan
hadits maka pasti kesimpulan hukum yang terhimpun dalam fiqh bersandar pada
kedua hal itu.
Para tokoh dan Imam dalam Madzhab Fiqh
pun sependapat bahwa dalil utama mereka adalah alqur’an dan sunnah dan bila
pendapatnya bertentangan dengan keduanya maka hendaklah pendapatnya itu
dikesampingkan saja dan jangan dipakai sebagai hukum.
Perbedaan
Pendapat Fiqh
Masalahnya, sekalipun mereka sepakat dalam hal mendasar
ini kenapa kita justru mendapati mereka ternyata berbeda pendapat dalam
menghadapi banyak masalah hukum sebagaimana yang dapat kita temukan dalam
kitab-kitab fiqh perbandingan ? Bukankah dalil mereka sama ?
Jangankan pada masa Imam-imam Madzhab
yang lahir pada masa-masa akhir sedangkan pada masa para shahabat pun perbedaan pendapat itu telah terjadi padahal
mereka hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan belum jauh
dari masa kefasihan bahasa Arab yang merupakan bahasa ayat dan hadits.
Sebagai contoh dapat kita lihat perbedaan
pendapat shahabat dalam memahami titah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk jangan melaksanakan sholat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.Mereka pun
berbeda pandangan dalam kewajiban mengulang kembali sholat dan wudhu’ yang
dilakukan dengan tayammum setelah mendapatkan air dalam hal waktu sholat belum
lagi habis.
Ketika peristiwa-peristiwa ini terjadi
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam masih hidup dan siapa pula yang
meragukan kefahaman dan kemampuan para shahabat mulia ini dalam bahasa Arab ?
Bukankah mereka inilah tokoh dan ahlinya ? Akan tetapi kenapa perbedaan masih
saja terjadi ?
Melangkah ke masa sesudah mereka pada
periode berikutnya penelitian dan studi terhadap hukum-hukum Fiqh berkembang
pesat hingga melahirkan khazanah fiqhiyah yang begitu besar dan luas. Lahir
bintang – bintang Ulama dilangit zaman dab bersinar terang benderang. Rahim
para muslimah seakan tak berhenti melahirkan tokoh-tokoh bidang yang sangat
penting ini. Para ulama bintang zaman itu tumbuh dan menjadi matang dengan
tradisi ilmiahnya masing-masing dan bersama itu pula lahirlah pendapat fiqh
yang berbeda-beda pula dari mereka.
Para Ulama yang memiliki madzhab
tersendiri bermunculan dengan ragam corak pengambilan keputusan hukum yang
sangat bervariasi. Hasilnya terbentuklah madrasah atau aliran pemikiran fiqh
yang bermacam-macam. Masing –masing madrasah mengeluarkan karya tulis sesuai
dengan corak metodologi pengambilan keputusan fiqhnya sendiri.
Karya- karya tersebut didukung oleh para
murid dan pendukung madzhab meneruskan dan mewariskan serta menyebarkan warisan
karya para ulama tersebut dengan mengajarkan dan memberi keterangan atau
catatan lanjutan atas kitab karya para ulama tersebut. Para murid dan alumni
masing-masing madrasah itu dikemudian hari bertebaran dan ikut mengembangkan
corak masing-masing ke seantero belahan dunia Islam bersamaan dengan
perkembangan wilayah-wilayah Islam.
Akibat dari penyebaran dan pengembangan
tersebut maka dikemudian hari pengaruh masing-masing madzhab dapat dirasakan
pada masing-masing wilayah.Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya akan sangat
berbeda “rasa” dan corak tradisi fiqhnya dengan Saudi Arabia atau Maroko atau
wilayah Asia Tengah.
Akibat
Perbedaan dan Problem Pelajar Fiqh.
Keragaman sebagaimana yang diceritakan
diatas telah melahirkan beraneka ragam pendapat dan pengamalan praktis pada
satu masalah fiqh. Ribuan jilid karya-karya besar fiqh tersebar diseluruh dunia
hingga saat ini. Kompleksitas problematika dan keanekaragaman karya-karya fiqh
ini tentu saja membuat para pelajar dan ulama fiqh dikemudian hari kesulitan
dalam menguasai materi-materi fiqh secara lengkap dan menyeluruh.
Satu permasalahan saja bisa jadi minimal
memiliki 4 jawaban yang berbeda sesuai dengan madzhab mana yang menjawab dan
sejalan dengan metode pengambilan kesimpulan hukum (istinbath) yang diikuti
padahal fiqh menyangkut seluruh aspek amaliyah ibadah maupun muamalah dalam
kehidupan. Sehingga dapat kita bayangkan betapa luas dan banyaknya materi yang harus ditelusuri dan dipelajari. Jadi
apa yang harus kita lakukan agar belajar fiqh dan beramal menjadi lebih mudah ?
Jawabannya ada pada cara dan pendekatan
yang kita lakukan dalam upaya belajar itu dan salahsatu cara yang telah
berlangsung berabad-abad dalam masyarakat dan dunia Islam adalah belajar dengan
menggunakan pendekatan salah satu madzhab fiqh yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar