Kamis, 21 Maret 2013

Belajar Fiqh dengan pendekatan Madzhab (2)






Bermadzhab adalah Solusi.

Jalan yang paling mudah dan praktis adalah memilih salah satu diantara aneka warna metodologi penentuan hukum tersebut untuk dipelajari dan diteliti atau diamalkan dalam praktek fiqh sehari-hari. Buku pelajaran yang dipelajari pun hendaknya dapat dipilih dari salahsatu madzhab yang ada dan biasa dipraktekkan ditengah masyarakat dimana kita tinggal.
Belajar dan mengamalkan fiqh dengan jalan seperti inilah yang disebut dengan tamadz-hub atau madzhabiyah. Seseorang memilih belajar dan mengamalkan praktek fiqh sesuai dengan  madzhab Imam Syafi’ie misalnya maka ia mengikuti amaliyah dan cara pengambilan ketentuan hukum fiqh menurut alur atau madzhab yang telah digariskan oleh ijtihad Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ie.
Madzhab adalah cara atau jalan yang diikuti. Semua madzhab fiqh pada dasarnya bertujuan sama yaitu sampai pada satu ketentuan hukum syar’iy amaliy yaitu hukum syariah yang berkaitan dengan pengamalan praktis dalam kehidupan bukan syar’iy I’tiqadi atau hukum syariah yang berkaitan dengan masalah keyakinan dalam jiwa yang bersifat abstrak tak terlihat dalam tataran amal praktis.
Madzhab terbentuk melalui proses ijtihad . Artinya usaha keras dan tersusun seorang ahli fiqh untuk berfikir dan menyimpulkan hukum suatu perbuatan berdasarkan dalil yang didapatkannya. Bisa saja ada satu diantara sekian madzhab dalam satu masalah yang paling dekat secara maksimal dengan kebenaran tetapi untuk menentukan mana yang paling dekat itu juga adalah proses ijtihad juga sehingga tidaklah bisa satu diantara sekian madzhab tadi mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar kecuali sebatas keyakinan dalam dirinya dan menghindarkan tidak adanya kepastian hukum dalam sebuah permasalahan.
Bagi seorang pemula atau menengah dalam fiqh adanya madzhab dan karya-karya madzhab ini sangatlah membantu dalam mempelajari fiqh dan menetapkan hukum sebuah amaliyah fiqh yang akan dikerjakan sehari-hari. Sangat jarang dan sulit seseorang dapat menguasai seluruh materi fiqh menurut semua madzhab karena begitu luas dan banyaknya materi yang dikandungnya seluas aspek kehidupan manusia.
Tamadz-hub juga dapat berfungsi memusatkan konsentrasi belajar dan memudahkan beramal. Sehingga tidaklah tepat bila seseorang misalnya tidak mengerjakan suatu amal yang ada dalam Islam ini dengan alasan ia belum mempelajari ayat qur’an atau haditsnya padahal ia sudah ada dan dipelajari atau diketahui secara umum melalui pelajaran yang dirancang sesuai madzhab ditempatnya.
Pada saat belajar maka konsentrasi kita selaku pemula atau awam tidak akan terganggu dengan banyaknya pendapat serta kesimpulan hukum fiqh yang berbeda-beda dari masing-masing ulama. Sehingga kalau boleh diibaratkan maka karya madzhab itu adalah segelas jus segar yang sudah siap diminum, tidak perlu meyiapkan alat dan bahan baku lagi. Kalau seperti ini maka seorang pemula atau awam tidak akan terjebak pada kebingungan dan over crowded dalam menghadapi samudera fiqh nan sangat luas ini.
Para ulama telah lama mengenal adanya marhalah (jenjang) ilmiah dalam belajar fiqh ataupun ilmu lainnya. Seorang pemula tentu saja tidak dapat disamakan dengan seorang yang sudah mencapai jenjang menengah atau tingkat lanjut. Masing-masingnya memiliki kekhasan dan perbedaan dalam materi dan buku yang harus dikuasai. Kalau dalam dunia pengobatan ada dosis dan takarannya masing-masing.
Sedangkan dalam fase lanjut atau marhalah tinggi bisa saja mempelajari fiqh ini dibahas dan dipelajari suatu masalah dengan mengemukakan sekian banyak pendapat para ulama untuk dilakukan muqoronah (perbandingan) sehingga dapat sampai pada kesimpulan yang paling diyakini paling kuat dan paling mendekati kebenaran dan kedekatan dengan alqur’an maupun sunnah.

Mengatasi Fanatisme Madzhab

Adalah sebuah kenyataan sejarah bahwa telah terjadi fanatisme hebat terhadap madzhab-madzhab fiqh khususnya sehingga menimbulkan perpecahan dan perselisihan hebat antar pendukung madzhab yang bersangkutan.Tercatat ada ulama yang sampai mengeluarkan pernyataan bahwa semua ayat atau hadits yang kelihatannya bertentangan dengan pendapat  sang Imam madzhab maka ayat atau hadits tersebut kalau bukan mansukh (batal hukumnya) atau harus dita’wil (ditafsiri sesuai dengan kaidah yang dipakai madzhab tersebut).
Namun demikian hendaknya permasalahan yang terjadi dalam sejarah dan bahkan terus berlanjut hingga sekarang seperti ini janganlah dijadikan alasan untuk menolak dan mengabaikan fenomena bermadzhab atau mengamalkan madzhab sebagaimana yang sudah kita utarakan diatas. Apalagi memburukkan dan menuduhnya sebagai biang keladi perusak kesatuan ummat.
Hal ini disebabkan ternyata kemudian bahwa orang-orang yang menyatakan dirinya tidak bermadzhab atau mengklaim bahwa madzhabnya adalah alqur’an dan hadits justru telah menciptakan madzhab baru. Bisa juga bahwa pendapat dan kesimpulan hukum miliknya sendiri telah ada dan tercantum lama dalam salah satu madzhab yang telah eksis sebelumnya.
Sedangkan fanatisme berlebihan dapat diatasi dengan menyebarkan wawasan dan kesadaran tentang madzhab-madzhab fiqh yang ada serta sejarahnya, pelajaran tarikh tasyrie’ (sejarah pembentukan hukum Islam) dan adabul khilaf ( etika perbedaan pendapat ). Pada pembelajaran tingkat lanjut dan tinggi harus dipelajari muqoronah madzahib (perbandingan madzhab) dan sistematika tarjih (menentukan pendapat terkuat antara beberapa pendapat madzhab).
Saat mempelajari fiqh tentang suatu masalah yang terdapat perbedaan pendapat ulama didalamnya terutama yang populer ditengah masyarakat perlu juga diperkenalkan adanya pendapat yang berbeda dari yang dipelajari dan diamalkan selama ini dengan alasan dan dalilnya. Bisa juga dicoba belajar mentarjih secara sederhana dan dalam dosis yang wajar sesuai tingkatannya.Ambil contoh masalah melafazkan niat sholatsebagaimana yang sering ditemui dalam praktek masyarakat kita maka saat itu perlu dijelaskan bahwa ada pendapat lain yang menyatakan tidak perlu melafazkannya. Demikian pula dalam belajar fiqh dan praktek sholat subuh perlu juga dijelaskan bahwa ada pendapat tidak sunnahnya doa qunut. Penjelasan tidak boleh melupakan sebab perbedaan pendapat tersebut.
Dengan demikian diharapkan timbul kesadaran bahwa belajar fiqh menurut suatu madzhab bukan berarti menelan mentah-mentah semua apa yang dituangkan didalamnya tetapi perlu juga studi kritis terhadapnya dan perbandingan dengan pendapat madzhab lainnya. Lebih lagi bisa saja pendapat yang kita amalkan dan pelajari selama ini ternyata lemah dan pendapat lain ternyata lebih kuat sehingga harus berubah dan itu bukan masalah.
Hanya saja tetap perlu diingat bahwa materi dasar dan utama pembelajaran fiqh kita terlebih dahulu adalah dengan pendekatan madzhab tertentu hingga ia matang dan siap melanjutkan kajian perbandingan madzhab lainnya dan siap menghadapi berbagai perbedaan pendapat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar