Bermadzhab
adalah Solusi.
Jalan yang paling mudah dan praktis
adalah memilih salah satu diantara aneka warna metodologi penentuan hukum
tersebut untuk dipelajari dan diteliti atau diamalkan dalam praktek fiqh sehari-hari.
Buku pelajaran yang dipelajari pun hendaknya dapat dipilih dari salahsatu
madzhab yang ada dan biasa dipraktekkan ditengah masyarakat dimana kita
tinggal.
Belajar dan mengamalkan fiqh dengan jalan
seperti inilah yang disebut dengan tamadz-hub atau madzhabiyah. Seseorang
memilih belajar dan mengamalkan praktek fiqh sesuai dengan madzhab Imam Syafi’ie misalnya maka ia
mengikuti amaliyah dan cara pengambilan ketentuan hukum fiqh menurut alur atau
madzhab yang telah digariskan oleh ijtihad Imam Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’ie.
Madzhab adalah cara atau jalan yang
diikuti. Semua madzhab fiqh pada dasarnya bertujuan sama yaitu sampai pada satu
ketentuan hukum syar’iy amaliy yaitu hukum syariah yang berkaitan dengan
pengamalan praktis dalam kehidupan bukan syar’iy I’tiqadi atau hukum syariah
yang berkaitan dengan masalah keyakinan dalam jiwa yang bersifat abstrak tak
terlihat dalam tataran amal praktis.
Madzhab terbentuk melalui proses ijtihad
. Artinya usaha keras dan tersusun seorang ahli fiqh untuk berfikir dan
menyimpulkan hukum suatu perbuatan berdasarkan dalil yang didapatkannya. Bisa
saja ada satu diantara sekian madzhab dalam satu masalah yang paling dekat
secara maksimal dengan kebenaran tetapi untuk menentukan mana yang paling dekat
itu juga adalah proses ijtihad juga sehingga tidaklah bisa satu diantara sekian
madzhab tadi mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar kecuali sebatas
keyakinan dalam dirinya dan menghindarkan tidak adanya kepastian hukum dalam
sebuah permasalahan.
Bagi seorang pemula atau menengah dalam
fiqh adanya madzhab dan karya-karya madzhab ini sangatlah membantu dalam
mempelajari fiqh dan menetapkan hukum sebuah amaliyah fiqh yang akan dikerjakan
sehari-hari. Sangat jarang dan sulit seseorang dapat menguasai seluruh materi fiqh
menurut semua madzhab karena begitu luas dan banyaknya materi yang dikandungnya
seluas aspek kehidupan manusia.
Tamadz-hub juga dapat berfungsi
memusatkan konsentrasi belajar dan memudahkan beramal. Sehingga tidaklah tepat
bila seseorang misalnya tidak mengerjakan suatu amal yang ada dalam Islam ini
dengan alasan ia belum mempelajari ayat qur’an atau haditsnya padahal ia sudah
ada dan dipelajari atau diketahui secara umum melalui pelajaran yang dirancang
sesuai madzhab ditempatnya.
Pada saat belajar maka konsentrasi kita
selaku pemula atau awam tidak akan terganggu dengan banyaknya pendapat serta
kesimpulan hukum fiqh yang berbeda-beda dari masing-masing ulama. Sehingga
kalau boleh diibaratkan maka karya madzhab itu adalah segelas jus segar yang
sudah siap diminum, tidak perlu meyiapkan alat dan bahan baku lagi. Kalau
seperti ini maka seorang pemula atau awam tidak akan terjebak pada kebingungan
dan over crowded dalam menghadapi samudera fiqh nan sangat luas ini.
Para ulama telah lama mengenal adanya marhalah
(jenjang) ilmiah dalam belajar fiqh ataupun ilmu lainnya. Seorang pemula tentu
saja tidak dapat disamakan dengan seorang yang sudah mencapai jenjang menengah
atau tingkat lanjut. Masing-masingnya memiliki kekhasan dan perbedaan dalam
materi dan buku yang harus dikuasai. Kalau dalam dunia pengobatan ada dosis dan
takarannya masing-masing.
Sedangkan dalam fase lanjut atau marhalah
tinggi bisa saja mempelajari fiqh ini dibahas dan dipelajari suatu masalah
dengan mengemukakan sekian banyak pendapat para ulama untuk dilakukan muqoronah
(perbandingan) sehingga dapat sampai pada kesimpulan yang paling diyakini
paling kuat dan paling mendekati kebenaran dan kedekatan dengan alqur’an maupun
sunnah.
Mengatasi
Fanatisme Madzhab
Adalah sebuah kenyataan sejarah bahwa
telah terjadi fanatisme hebat terhadap madzhab-madzhab fiqh khususnya sehingga
menimbulkan perpecahan dan perselisihan hebat antar pendukung madzhab yang
bersangkutan.Tercatat ada ulama yang sampai mengeluarkan pernyataan bahwa semua
ayat atau hadits yang kelihatannya bertentangan dengan pendapat sang Imam madzhab maka ayat atau hadits
tersebut kalau bukan mansukh (batal hukumnya) atau harus dita’wil (ditafsiri
sesuai dengan kaidah yang dipakai madzhab tersebut).
Namun demikian hendaknya permasalahan yang
terjadi dalam sejarah dan bahkan terus berlanjut hingga sekarang seperti ini
janganlah dijadikan alasan untuk menolak dan mengabaikan fenomena bermadzhab
atau mengamalkan madzhab sebagaimana yang sudah kita utarakan diatas. Apalagi
memburukkan dan menuduhnya sebagai biang keladi perusak kesatuan ummat.
Hal ini disebabkan ternyata kemudian
bahwa orang-orang yang menyatakan dirinya tidak bermadzhab atau mengklaim bahwa
madzhabnya adalah alqur’an dan hadits justru telah menciptakan madzhab baru.
Bisa juga bahwa pendapat dan kesimpulan hukum miliknya sendiri telah ada dan
tercantum lama dalam salah satu madzhab yang telah eksis sebelumnya.
Sedangkan fanatisme berlebihan dapat
diatasi dengan menyebarkan wawasan dan kesadaran tentang madzhab-madzhab fiqh
yang ada serta sejarahnya, pelajaran tarikh tasyrie’ (sejarah pembentukan hukum
Islam) dan adabul khilaf ( etika perbedaan pendapat ). Pada pembelajaran
tingkat lanjut dan tinggi harus dipelajari muqoronah madzahib (perbandingan
madzhab) dan sistematika tarjih (menentukan pendapat terkuat antara beberapa
pendapat madzhab).
Saat mempelajari fiqh tentang suatu
masalah yang terdapat perbedaan pendapat ulama didalamnya terutama yang populer
ditengah masyarakat perlu juga diperkenalkan adanya pendapat yang berbeda dari
yang dipelajari dan diamalkan selama ini dengan alasan dan dalilnya. Bisa juga
dicoba belajar mentarjih secara sederhana dan dalam dosis yang wajar sesuai
tingkatannya.Ambil contoh masalah melafazkan niat sholatsebagaimana yang sering
ditemui dalam praktek masyarakat kita maka saat itu perlu dijelaskan bahwa ada
pendapat lain yang menyatakan tidak perlu melafazkannya. Demikian pula dalam
belajar fiqh dan praktek sholat subuh perlu juga dijelaskan bahwa ada pendapat
tidak sunnahnya doa qunut. Penjelasan tidak boleh melupakan sebab perbedaan
pendapat tersebut.
Dengan demikian diharapkan timbul
kesadaran bahwa belajar fiqh menurut suatu madzhab bukan berarti menelan
mentah-mentah semua apa yang dituangkan didalamnya tetapi perlu juga studi
kritis terhadapnya dan perbandingan dengan pendapat madzhab lainnya. Lebih lagi
bisa saja pendapat yang kita amalkan dan pelajari selama ini ternyata lemah dan
pendapat lain ternyata lebih kuat sehingga harus berubah dan itu bukan masalah.
Hanya saja tetap perlu diingat bahwa
materi dasar dan utama pembelajaran fiqh kita terlebih dahulu adalah dengan
pendekatan madzhab tertentu hingga ia matang dan siap melanjutkan kajian
perbandingan madzhab lainnya dan siap menghadapi berbagai perbedaan pendapat.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar