Mudah-mudahan beberapa penjelasan sebelumnya atas pentingnya pengetahuan terhadap Sebab Turunnya Ayat dalam Alqur’an bermanfaat. Selanjutnya dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa contoh lagi dari Asbab an-Nuzul atau Sabab an-Nuzul tersebut sehingga bahan penjelasan menjadi semakin lengkap.
Saya masih ingat sekitar 2008 yang lampau saat menjadi pendengar dalam majlis pengajian disebuah masjid yang mengundang seorang pembicara tentang Al-qur’an dan pemahaman agama. Anehnya dalam pengajian tersebut sang Pembicara menguraikan tentang ayat-ayat al-Qur’an sekaligus menebar beberapa pemikiran dan tafsir yang entah dari mana asalnya tanpa merujuk tafsir-tafsir para ulama dan korelasi antar ayat. Bahkan dengan mudahnya menyerang hadits dan meminggirkan peran asbabun nuzul dengan alasan : “qur’an itu jelas dari Allah sedangkan hadits dan riwayat-riwayat tafsir dari para ulama itu dari manusia” sehingga masih menurut sang Pembicara ini : “qur’an akan membimbing kita karena betul datang dari Allah sedangkan hadits itu belum tentu dari Nabi sehingga orang yang mengikutinya akan berbeda-beda pendapat dan bercerai-berai”. Demikian sekelumit kesesatan berfikir yang coba disampaikan sang Pembicara tersebut.
Saya tak sempat menanyakan lebih lanjut dari mana ia belajar dan dapat “ilmu” seperti itu namun langsung dengan bekal belajar dan bacaan selama ini dari beberapa kitab dan guru saya langsung bertanya dan melemparkan beberapa umpan kritis terkait hubungan alqur’an dan hadits termasuk urgensi asbab an-nuzul sehingga majlis jadi ramai dan terpaksa beberapa pengurus masjid ikut menengahi.
Malam itu sehabis pengajian itu juga saya berupaya membuka-buka kembali beberapa Tafsir dan kitab Ilmu Alqur’an sehingga terkumpul beberapa contoh riwayat asbabun nuzul dan penafsiran langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak dapat dilepaskan dari pemahaman yang lurus terhadap makna ayat. Beberapa dari catatan tersebut saya rangkaikan kembali dalam tulisan ini.
Sebagai kelanjutan dari bagian pertama berikut ini beberapa contoh lagi yang mudah-mudahan dapat semakin memperkuat kesadaran bahwa kaitan riwayat tafsir dan ilmu tentang sebab turunnya ayat itu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tafsir yang dikenal dan diakui selama ini oleh ummat dan ulama Islam.
1. Pemahaman terhadap ayat pengharaman riba yang berlipat ganda seperti dalam al-Maidah ayat 130 yang berkaitan dengan al-Baqarah ayat 275 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Apakah Riba yang diharamkan Allah subhanahu wata’ala itu hanya yang berlipat ganda sedangkan bila persentasenya kecil saja dan tidak sampai seratus persen maka itu boleh ? Bagi yang tidak mengkaji sebab turunnya ayat ini ditambah tidak menguasai kaidah tafsir maka tentu saja dengan mudah akan mengatakan demikian.
Padahal bukan itu yang dimaksud ayat tersebut. Ayat ini turun sebagai deskripsi ( hikayat al-waaqie’ ) dan melontarkan celaan atas apa yang memang biasa terjadi dalam masyarakat Quraisy dimasa jahiliyah. Seperti yang dilakukan al-Abbas dan Khalid ibn Walid terhadap Bani Tsaqif hingga ayat ini turun sehingga memang sudah menjadi fenomena umum masa itu terjadi praktek riba yang berlipat ganda.
Jadi seperti yang dikemukakan para Mufassir ayat ini bahwa : “al-qaid huna la tufiidu mafhuuman” yaitu kata : berlipat ganda) bahwa sekalipun ada kata yang menerangkan sifat riba yang dilarang sebagai : berlipat ganda , sifat ini tidaklah berpengaruh, ia hanya bersifat deskriptif atas apa yang terjadi biasanya pada praktek riba. Ayat ini pun tidak bisa juga dilepaskan dari ayat berikutnya yaitu ayat 275 , dipersilahkan membacanya.
Sama halnya dengan pemahaman terhadap ayat 23 surat al-Maaidah berikut ini :
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Ayat ini adalah bagian dari ayat panjang yang menerangkan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi termasuk “ anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya “
Yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu adalah anak tiri yang ikut dalam pengasuhan dan pemeliharaan ayah tirinya. Sama halnya dengan frase : “yang berlipat ganda” diatas maka demikian pula frase “yang dalam pemeliharaanmu” pada ayat ini yaitu hanya menggambarkan kondisi lazimnya seorang anak tiri biasanya mengikuti ibunya hingga setelah ibunya itu menikah lagi dengan lelaki lain.
Sehingga begitu ibunya dinikahi dan telah berhubungan seksual dengan suami barunya maka otomatis putri sang ibu ini haram dinikahi oleh sang Ayah tiri. Keharaman ini berlaku dalam hal si putri kemudian berada dalam pemeliharaan dan pengasuhan sang ayah tiri ataupun tidak. Jadi keterangan dalam ayat tersebut : “yang dalam pemeliharaanmu” tidaklah berpengaruh dalam pengharaman sebab ia hanya sekedar deskripsi keadaan lazimnya.
Demi menambah contoh lainnya hal ini juga sama berlaku dalam deskripsi terhadap kata Syirik (mempersekutukan Allah) yang biasanya diikuti kata : “ bighairi sulthaan ” (tanpa ada alasan), seperti dalam surat 40:35 :
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ آمَنُوا كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
Demikian pula surat 40:56 :
إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, Maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya dia Maha mendengar lagi Maha Melihat.
Dalam beberapa ayat lainnya al-Qur’an menggunakan kalimat : “ma lam yunazzil bihi sulthaanaa “ untuk mensifati perbuatan syirik itu. Seperti dalam surat 3:151 :
سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ
Artinya : Akan kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan Itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.
Demikian juga dalam surat 7:33 :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ
مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Katakanlah: “Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan juga surat 22:71 :
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Dan mereka menyembah selain Allah, apa yang Allah tidak menurunkan keterangan tentang itu, dan apa yang mereka sendiri tiada mempunyai pengetahuan terhadapnya. Dan bagi orang-orang yang zalim sekali-kali tidak ada seorang penolongpun.
Tentu saja makna ayat-ayat tersebut melarang perbuatan syirik dan debat tentang ayat-ayat secara mutlak. Sehingga tidak boleh difahami : oh kalau syirik dengan ada alasan boleh ! Hal ini karena kata : “bighairi sulthaan” dan “maa lam yunazzil ‘alaihim sulthaana” dalam ayat-ayat itu sekedar memperkuat dan mendeskripsikan bahwa begitulah syirik dan sikap mendebat ayat Allah itu dan selalu tidak ada alasan yang dapat diterima untuk kedua perbuatan tersebut.
Demi kejelasan lebih lanjut bolehlah dirujuk semua kitab Tafsir yang menerangkan tentang makna ayat ini. Sekali lagi penjelasan ini adalah dengan tujuan penguatan wawasan terhadap pentingnya posisi sebab turunnya ayat dalam rangka pemahaman yang lurus terhadap makna dan kandungannya.
Sedangkan dalam hal memahami ayat dengan riwayat Tafsir langsung dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa diambil contoh dari riwayat shahih tentang Makna “zhulm” dalam ayat ttg syirik di surat al-An’aam ayat 82 :
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Para Shahabat memaknai kata “ dhulm “ dalam ayat ini sebagai maksiat dan dosa-dosa yang telah mereka lakukan sebagaimana layaknya manusia biasa.
Maka seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta beberapa perawi lainnya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa para shahabat semua gelisah dan jiwanya merasa berat saat turun ayat ini sehingga mereka mencurahkan isi hati mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : siapa diantara kami yang tak pernah “ zalim “ - dengan berbuat maksiat terhadap dirinya ? maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : bukanlah makna ayat ini seperti yang kalian kira, tetapi maksudnya adalah seperti kata Luqman kepada anaknya : wahai ananda janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar” .
Terkait dengan masalah pentingnya Sabab an-Nuzul perlu diperhatikan bahwa ia tidak berarti makna ayat hanya berlaku secara khusus dan terbatas dalam kejadian yang sama persis dengan peristiwa yang terjadi dalam riwayat sebab tersebut.
Tetapi bisa saja makna tersebut berlaku kemudian dalam peristiwa lain yang kandungan umumnya sesuai dengan apa yang terjadi kemudian tersebut. Untuk lebih jelasnya tentu ini dapat ditelaah dalam literatur Asbaab an-Nuzul serta Ushul Fiqh dan Kaidah-kaidah Fiqh. Sekian dan semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar