Semoga bagian pertama tulisan ini telah mengantarkan
kita memahami betapa agungnya kedudukan surat ini dalam al-Qur’an khususnya
dalam memberi ketegasan makna keesaan Allah azza wa jalla. Sekarang kita
lanjutkan pada bagian lain yaitu mengeja makna kata perkata dalam surat ini. Selamat
membaca.
Meneliti Tafsir
Kalimat dalam Surat al-Ikhlas
Pada ayat pertama Allah subhanahu wata’ala
memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
(قل هو الله أحد)
Artinya : Katakanlah
: Dial ah Allah Yang Maha Esa.
Arti kata :
(الأحد)Ahad : satu-satunya,
tidak ada
bandingan, tidak memiliki pembantu,tidak
ada sekutu, tidak ada yang semisal, tidak ada yang menyerupai,dan
kata ini tidak dipakaikan dalam redaksi itsbat kecuali kepada Allah azza
wajalla karena Ia lah yang sempurna dalam semua sifat dan perbuatannya.
Selanjutnya pada ayat kedua :
(الله الصمد)
Artinya :
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu.
Arti kata :
(الصمد) Ash shamadu : yang tidak melahirkan dan
tidak pula dilahirkan (sebab segala sesuatu yang melahirkan akan mati dan yang
mati akan meninggalkan waris sedangkan Allah Subhanahu wata’ala tidaklah
seperti itu).
Menurut pemahaman penulis
dengan tafsir ini berarti antara ayat ini dengan ayat ketiga ada hubungan
saling menafsirkan karena ayat ketiga menafsirkan ayat kedua tentang arti dari
ash-shamad.
Selain
itu ada beberapa riwayat tafsir yang
dicatat oleh Imam Ibnu Katsir dalam menjelaskan makna kata ash-shamad :
1.
yang kembali kepadanya semua
kebutuhan dan permintaan segenap makhluk.[1]
2. sayyid (tuan pemilik) yang
sempurna kepemilikannya (tidak dapat diganggu gugat)dan syariif (yang
mulia)yang sempurna kemuliaannya,Yang Sempurna Keagungannya,Yang Sempurna Kasih
Sayangnya,Yang Sempurna Pengetahuannya,Yang Sempurna kebijaksanaannya, Sempurna seluruh kemuliaan dan
kekayaannya,Ia lah Allah subhanahu yang
mempunyai sifat-sifat tersebut dan tidak ada yang pantas kecuali hanya
untuknya,tidak ada sekutunya dan tidak ada yang semisalnya Yang Maha Tunggal
dan Maha Perkasa.[2]
3.
assayyid yang memiliki
kemuliaan yang telah mencapai puncaknya.[3]
4.
ashhamadu bermakna assayyid.[4]
5.
ia adalah Yang Tetap Ada
setelah mencipta[5]
6.
ia adalah Yang Maha Hidup dan
Tak Pernah Tidur dan Tidak Akan Musnah[6]
7.
Yang Tidak Pernah Lahir
sesuatu darinya dan tidak membutuhkan makanan.[7]
8.
Dialah Yang Tidak Melahirkan
dan Tidak Pula dilahirkan[8]
9.
Ash-shamad berarti yang tidak
berongga[9]
10. ash-shamad
berarti al mushmat yaitu yang tidak berongga[10]
11. yang
tidak makan dan tidak minum[11]
12. ash-shamad
berarti cahaya yang berkilauan[12]
Semua
uraian ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi, ath-Thabarani,demikian
pula Abu Ja’far ibnu Jarir sebagian besar riwayat tersebut dicantumkannya
dengan jalur riwayatnya.
Seperti
yang dapat kita baca pada uraian-uraian tafsir diatas yang dikemukakan oleh
para ulama-ulama besar tafsir tersebut ada 12 uraian untuk menjelaskan makna
ash-shamad. Masalah ini bukan sesuatu yang dapat mengganggu mutu dan kualitas
serta sah atau tidaknya penafsiran karena setiap uraian diatas sah-sah saja
sesuai dengan kaidah bahasa dan tafsir seperti yang dijelaskan dalam buku-buku
ilmu tafsir. Keragaman uraian diatas bukanlah keragaman yang saling
bertentangan (kontradiktif) dalam
intinya melainkan keragaman yang bermuara pada suatu makna agung seperti
pendapat Imam al-Hafizh Abu al-Qasim Ath-Thabarani berikut ini.[13]
Beliau
memberikan komentar dalam kitabnya
Assunnah seusai menyebutkan sebagian besar pendapat tafsir terhadap makna
Ash-shamad diatas : semua ini benar dan itu adalah sifat-sifat Rabb kita azza
wajalla yang menjadi tempat meminta dalam semua kebutuhan dan ia pula yang
memiliki puncak segenap kemuliaan ia pula sesuatu yang tak berongga tidak makan
dan tidak minum dan ia pula yang tetap kekal setelah menciptakan, demikian pula
disebutkan oleh Baihaqi.
Adapun ayat ketiga :
(لم يلد ولم يولد)
Artinya : Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Imam Ibnu Katsir memberi tambahan dalam memahami ayat
ini : Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak mempunyai istri.
Sedangkan ayat ke empat :
(ولم يكن له كفوا أحد)
Artinya : Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. Arti
kata (كفوا) Kufuan : sekutu, semisalnya dan
bandingan.
Menurut
Mujahid makna ayat ini (ayat ketiga dan keempat sekaligus) adalah : yang tidak
mempunyai istri seperti yang disebutkan Allah subhanahu wata’ala (QS 6 : 101 ) :
( بديع السماوات والأرض أنى يكون له ولد ولم تكن له صاحبة وخلق كل شيء )
Artinya
: Yaitu bahwa dia lah yang maha memiliki segala sesuatu dan pencipta segala
sesuatu tersebut maka bagaimana mungkin ia mempunyai bandingan dengan sesuatu
yang diciptakannya atau sesuatu yang mirip dengannya , Maha Suci Allah
subhanahu wata’ala.
ٍٍSenada dengan ayat lainnya Allah subhanahu wata’ala berfirman
(QS 19 : 88-95):
( وقالوا اتخذ الرحمن ولدا لقد جئتم شيئا إدا تكاد السماوات يتفطرن
منه وتنشق الأرض وتخر الجبال هدا أن دعوا للرحمن ولدا وما ينبغي للرحمن أن يتخذ ولدا
إن كل من في السماوات والأرض إلا آتي الرحمن عبدا لقد أحصاهم وعدهم عدا وكلهم آتيه
يوم القيامة فردا )
Artinya : dan
mereka berkata , “(Allah) yang Maha Pengasih mempunyai anak. Sungguh, kamu
telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah dan bumi terbelah
dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu) karena mereka menganggap (Allah)
Yang Maha Pengasih mempunyai anak, dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha
Pengasih mempunyai anak, Tidak ada seorang pun di langit dan di Bumi melainkan
akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba. Dia
(Allah) benar-benar telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan
hitungan yang teliti. Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah
sendiri-sendiri hari Kiamat.
Firman
Allah subhanahu wata’la (QS 21 : 26) :
( وقالوا اتخذ الرحمن ولدا سبحانه بل عباد مكرمون لا يسبقونه بالقول
وهم بأمره يعملون)
Artinya : dan
mereka berkata “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai
anak”. Maha Suci Dia (dari sifat tersebut) Sebenarnya mereka (para malaikat
itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak berbicara mendahului-Nya
dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.
Firman Allah
subhanahu wata’ala (QS 37:158) :
( وجعلوا بينه وبين الجنة نسبا ولقد علمت الجنة إنهم لمحضرون سبحان
الله عما يصفون )
Artinya
: dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dengan
jin. Dan sungguh, jin telah mengetahui bahwa mereka pasti akan diseret (ke
neraka).
Imam
Ibn Katsir rahimahullah menimpali ayat-ayat ini dengan mengatakan : Tidak ada
yang lebih sabar mendengarkan sesuatu yang menyakitkan kecuali Allah, mereka
katakan bahwa Allah memiliki anak padahal Allah Yang telah memberi mereka rizki
dan kesehatan.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata
Allah subhanahu wata’ala berfirman : anak adam telah berdusta kepadaku padahal
itu tidak boleh dilakukannya,anak adam pula telah mencelaku padahal itu tidak
boleh dilakukannya adapun kedustaannya kepadaKU adalah pendapatnya bahwa Aku
tidak akan membangkitkan mereka setelah Kuciptakan mereka padahal mengembalikan
sesuatu itu tidaklah lebih berat dari penciptaan pertama kali.sedangkan
ejekannya kepadaku adalah perkataannya bahwa Allah telah mempunyai anak padahal
Aku adalah al Ahad ash-Shamad Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan
dan tidak ada seorang pun yang menyamaiKu.[14]
Demikianlah
beberapa penjelasan para ahli tafsir seperti yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya. Semoga dapat membuka wawasan kita dalam meneliti dan mendalami makna kata-kata yang dipilihkan Allah subhanahu wataala dalam surat ini.
[8] Arrabie’ bin Anas
dan seperti komentar Ibnu Katsir atas riwayat tafsir seperti ini : ini seperti
tafsir dengan menggunakan ayat yang ada setelahnya
yaitu : lam Yalid walam yuulad) dan ini adalah bentuk tafsir yang bagus seperti yang terdapat dalam
hadits sebelumnya riwayat Ibnu Jarir dari Ubay bin Ka’ab dan secara eksplisit diungkapkan dalam riwayat
tersebut tafsir ini.
[9] Ibnu Mas’ud,Ibnu
Abbas dan said bin musayyib,mujahid, abdullah bin Buraidah, Ikrimah, Said bin Jubair, atha’ bin abi rabah, athiyyah al aufi, adh-dhahhak dan assuddy
[13] Dalam istilah ilmu tafsir perbedaan
atau keragaman itu disebut : “ikhtilaf tanawwu’ bukan ikhtilaf tanaqudh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar