Selasa, 01 Mei 2018

Meresapi Keagungan Tauhid dalam Surat Al-Ikhlas (Bagian 2)








Semoga bagian pertama tulisan ini telah mengantarkan kita memahami betapa agungnya kedudukan surat ini dalam al-Qur’an khususnya dalam memberi ketegasan makna keesaan Allah azza wa jalla. Sekarang kita lanjutkan pada bagian lain yaitu mengeja makna kata perkata dalam surat ini. Selamat membaca.

Meneliti Tafsir Kalimat dalam Surat al-Ikhlas

Pada ayat pertama Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
(قل هو الله أحد)
Artinya : Katakanlah : Dial ah Allah Yang Maha Esa.
Arti kata :  (الأحد)Ahad : satu-satunya, tidak ada bandingan, tidak memiliki pembantu,tidak ada sekutu, tidak ada yang semisal,  tidak ada yang menyerupai,dan kata ini tidak dipakaikan dalam redaksi itsbat kecuali kepada Allah azza wajalla karena Ia lah yang sempurna dalam semua sifat dan perbuatannya.
Selanjutnya pada ayat kedua :
(الله الصمد)
Artinya : Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu.
Arti kata : (الصمد) Ash shamadu : yang tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan (sebab segala sesuatu yang melahirkan akan mati dan yang mati akan meninggalkan waris sedangkan Allah Subhanahu wata’ala tidaklah seperti itu).   

              Menurut pemahaman penulis dengan tafsir ini berarti antara ayat ini dengan ayat ketiga ada hubungan saling menafsirkan karena ayat ketiga menafsirkan ayat kedua tentang arti dari ash-shamad.

              Selain itu  ada beberapa riwayat tafsir yang dicatat oleh Imam Ibnu Katsir dalam menjelaskan makna kata ash-shamad :

1.         yang kembali kepadanya semua kebutuhan dan permintaan segenap makhluk.[1]
2.     sayyid (tuan pemilik) yang sempurna kepemilikannya (tidak dapat diganggu gugat)dan syariif (yang mulia)yang sempurna kemuliaannya,Yang Sempurna Keagungannya,Yang Sempurna Kasih Sayangnya,Yang Sempurna Pengetahuannya,Yang Sempurna kebijaksanaannya,   Sempurna seluruh kemuliaan dan kekayaannya,Ia lah Allah subhanahu  yang mempunyai sifat-sifat tersebut dan tidak ada yang pantas kecuali hanya untuknya,tidak ada sekutunya dan tidak ada yang semisalnya Yang Maha Tunggal dan Maha Perkasa.[2]
3.         assayyid yang memiliki kemuliaan yang telah mencapai puncaknya.[3]  
4.         ashhamadu bermakna assayyid.[4]
5.         ia adalah Yang Tetap Ada setelah mencipta[5]
6.         ia adalah Yang Maha Hidup dan Tak Pernah Tidur dan Tidak Akan Musnah[6] 
7.         Yang Tidak Pernah Lahir sesuatu darinya dan tidak membutuhkan makanan.[7]
8.         Dialah Yang Tidak Melahirkan dan Tidak Pula dilahirkan[8]
9.         Ash-shamad berarti yang tidak berongga[9]
10.     ash-shamad berarti al mushmat yaitu yang tidak berongga[10]
11.     yang tidak makan dan tidak minum[11]
12.     ash-shamad berarti cahaya yang berkilauan[12]

Semua uraian ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi, ath-Thabarani,demikian pula Abu Ja’far ibnu Jarir sebagian besar riwayat tersebut dicantumkannya dengan jalur riwayatnya.

Seperti yang dapat kita baca pada uraian-uraian tafsir diatas yang dikemukakan oleh para ulama-ulama besar tafsir tersebut ada 12 uraian untuk menjelaskan makna ash-shamad. Masalah ini bukan sesuatu yang dapat mengganggu mutu dan kualitas serta sah atau tidaknya penafsiran karena setiap uraian diatas sah-sah saja sesuai dengan kaidah bahasa dan tafsir seperti yang dijelaskan dalam buku-buku ilmu tafsir. Keragaman uraian diatas bukanlah keragaman yang saling bertentangan (kontradiktif) dalam intinya melainkan keragaman yang bermuara pada suatu makna agung seperti pendapat Imam al-Hafizh Abu al-Qasim Ath-Thabarani berikut ini.[13]

Beliau  memberikan komentar dalam kitabnya Assunnah seusai menyebutkan sebagian besar pendapat tafsir terhadap makna Ash-shamad diatas : semua ini benar dan itu adalah sifat-sifat Rabb kita azza wajalla yang menjadi tempat meminta dalam semua kebutuhan dan ia pula yang memiliki puncak segenap kemuliaan ia pula sesuatu yang tak berongga tidak makan dan tidak minum dan ia pula yang tetap kekal setelah menciptakan, demikian pula disebutkan oleh Baihaqi.

Adapun ayat ketiga :
(لم يلد ولم يولد)
Artinya : Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Imam Ibnu Katsir memberi tambahan dalam memahami ayat ini : Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak mempunyai istri.

Sedangkan ayat ke empat :
(ولم يكن له كفوا أحد)
Artinya : Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. Arti kata  (كفوا) Kufuan : sekutu, semisalnya dan bandingan.

Menurut Mujahid makna ayat ini (ayat ketiga dan keempat sekaligus) adalah : yang tidak mempunyai istri seperti yang disebutkan Allah subhanahu wata’ala (QS 6 : 101 ) :

( بديع السماوات والأرض أنى يكون له ولد ولم تكن له صاحبة وخلق كل شيء )
Artinya : Yaitu bahwa dia lah yang maha memiliki segala sesuatu dan pencipta segala sesuatu tersebut maka bagaimana mungkin ia mempunyai bandingan dengan sesuatu yang diciptakannya atau sesuatu yang mirip dengannya , Maha Suci Allah subhanahu wata’ala.

ٍٍSenada dengan ayat lainnya Allah subhanahu wata’ala berfirman  (QS 19 : 88-95):

( وقالوا اتخذ الرحمن ولدا لقد جئتم شيئا إدا تكاد السماوات يتفطرن منه وتنشق الأرض وتخر الجبال هدا أن دعوا للرحمن ولدا وما ينبغي للرحمن أن يتخذ ولدا إن كل من في السماوات والأرض إلا آتي الرحمن عبدا لقد أحصاهم وعدهم عدا وكلهم آتيه يوم القيامة فردا )
Artinya : dan mereka berkata , “(Allah) yang Maha Pengasih mempunyai anak. Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu) karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak, dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak, Tidak ada seorang pun di langit dan di Bumi melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba. Dia (Allah) benar-benar telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah sendiri-sendiri hari Kiamat.

Firman Allah subhanahu wata’la (QS 21 : 26) :

( وقالوا اتخذ الرحمن ولدا سبحانه بل عباد مكرمون لا يسبقونه بالقول وهم بأمره يعملون)

Artinya : dan mereka berkata “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak”. Maha Suci Dia (dari sifat tersebut) Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.

Firman Allah subhanahu wata’ala (QS 37:158) :

( وجعلوا بينه وبين الجنة نسبا ولقد علمت الجنة إنهم لمحضرون سبحان الله عما يصفون )

Artinya : dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara Dia (Allah) dengan jin. Dan sungguh, jin telah mengetahui bahwa mereka pasti akan diseret (ke neraka).

Imam Ibn Katsir rahimahullah menimpali ayat-ayat ini dengan mengatakan : Tidak ada yang lebih sabar mendengarkan sesuatu yang menyakitkan kecuali Allah, mereka katakan bahwa Allah memiliki anak padahal Allah Yang telah memberi mereka rizki dan kesehatan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata Allah subhanahu wata’ala berfirman : anak adam telah berdusta kepadaku padahal itu tidak boleh dilakukannya,anak adam pula telah mencelaku padahal itu tidak boleh dilakukannya adapun kedustaannya kepadaKU adalah pendapatnya bahwa Aku tidak akan membangkitkan mereka setelah Kuciptakan mereka padahal mengembalikan sesuatu itu tidaklah lebih berat dari penciptaan pertama kali.sedangkan ejekannya kepadaku adalah perkataannya bahwa Allah telah mempunyai anak padahal Aku adalah al Ahad ash-Shamad Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorang pun yang menyamaiKu.[14]

Demikianlah beberapa penjelasan para ahli tafsir seperti yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Semoga dapat membuka wawasan kita dalam meneliti dan mendalami makna kata-kata yang dipilihkan Allah subhanahu wataala dalam surat ini. 



[1] menurut ibnu abbas dalam riwayat ikrimah
[2] Menurut ibnu abbas dari ali bin abi thalhah
[3] Menurut syaqiq abi wa-il dalam riwayat al A’masy dan riwayat  Ashim dari ibnu mas’ud
[4] Menurut Zaid bin Aslam seperti diriwayatkan Malik
[5] Al-Hasan dan qatadah
[6] Al Hasan
[7]  Ikrimah
[8] Arrabie’ bin Anas dan seperti komentar Ibnu Katsir atas riwayat tafsir seperti ini : ini seperti tafsir dengan menggunakan ayat yang ada setelahnya yaitu : lam Yalid walam yuulad) dan ini adalah bentuk tafsir yang bagus seperti yang terdapat dalam hadits sebelumnya riwayat Ibnu Jarir dari Ubay bin Ka’ab dan secara eksplisit diungkapkan dalam riwayat tersebut tafsir ini.
[9] Ibnu Mas’ud,Ibnu Abbas dan said bin musayyib,mujahid, abdullah bin Buraidah, Ikrimah, Said bin Jubair, atha’ bin abi rabah, athiyyah al aufi, adh-dhahhak dan assuddy
[10] Sufyan dari manshur dari mujahid
[11] Asy-sya’bi
[12] Abdullah bin Buraidah
[13] Dalam istilah ilmu tafsir perbedaan atau keragaman itu disebut : “ikhtilaf tanawwu’ bukan ikhtilaf tanaqudh.”
[14] Bukhari 4974- 4975

Tidak ada komentar:

Posting Komentar