Berikut ini lanjutan pembahasan terhadap surat Al-Ikhlas
dengan memusatkan perhatian pada aspek keagungan tauhid yang dikandungnya.
Setelah membaca pengantar diawal dan mencoba menyelami makna melalui arti
kosakata yang terdapat didalamnya serta sedikit penjelasan maka berikut ini
informasi singkat tentang Surat diikuti dengan penjelasan makna umum dan
diakhiri dengan beberapa kesimpulan.
Status Surat
Surat Al-ikhlas ini terdiri dari 4 ayat dan masuk dalam
penggolongan surat-surat Makkiyah atau yang turun sebelum hijrah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah. Sehingga bila dilihat dari segi
susunan dan gaya bahasanya sama seperti halnya surat-surat Makkiyah pada
umumnya yaitu menggunakan susunan kalimat yang pendek-pendek tetapi tegas dan
tidak mengundang penafsiran yang beragam.
Kalaupun terdapat beberapa pendapat dalam lingkup
penafsiran sebuah kata dalam surat ini (seperti tafsir dari kata ash-shamadu)
maka itu hanyalah perbedaan dalam pengungkapan kata tetapi bermuara pada satu
makna yang sama.
Sebab
Turunnya Surat al-Ikhlas
Dari
Ubay Bin Ka’ab bahwasanya orang-orang Musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad
Shallallaahu ‘alaihi wasallam : Wahai Muhammad jelaskan asal-usul Tuhanmu
(insab lanaa rabbaka) maka Allah subhanahu wata’ala menurunkan :
(قل هو الله أحد الله الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد)
Inti kandungan surat ini penegasan akan sifat Allah
subhanahu wata’ala yang esa tunggal tak bersanding dengan sekutu ataupun lawan
yang seimbang atau sejenisnya.Dalam bahasa Ilmu Aqidah disebut tauhid
rububiyah,uluhiyah serta tauhid asmaa’ wash-shifat. Penegasan makna
tauhid seperti ini juga menjadi tema pokok surat-surat makkiyah umumnya.
Riwayat ini bersumber
dari Tirmidzi, Ibnu Jarir Ath thabari, Ibnu Abi Hatim sebagaimana dicantumkan oleh
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya sedangkan beberapa riwayat senada yang menerangkan
peristiwa latar belakang turunnya surat ini juga disebutkan oleh Abu Ya’la dan
Athabarani.
Penegasan ini setelah
pernyataan mereka bahwa bila Orang-orang Yahudi menyembah ‘Uzair dan
orang-orang Nasrani menyembah Yesus sedangkan orang-orang Majusi menyembah
matahari dan bulan dan orang-orang Musyrikin Quraisy menyembah patung-patung
maka mereka pun kemudian meminta kepada Nabi shallallaahu’alaihi wasallam untuk
menerangkan Tuhannya maka turunlah surat Al Ikhlas ini sebagai jawabannya. Demikian riwayat sabab annuzul surat nan agung
ini seperti yang disebutkan oleh Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya. Lihat betapa
pentingnya kedudukan sabab annuzul dalam memahami kandungan sebuah ayat atau
surat dalam tulisan di blog ini sebelumnya.
Makna
Umum Surat
Awal surat ini
mengemukakan sebuah pesan yang sangat kuat agar Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam mendelarasikan kepada khalayak masyarakat musyrikin bahwa
Allah subhanahu wata’ala adalah Ahad - Maha Esa – yang sangat berlawanan dengan
keyakinan mereka selama ini yaitu kemusyrikan dan kekufuran.
Surat ini secara
keseluruhan menegaskan kewajiban kita untuk memurnikan ketauhidan kepada Allah
subhanahu wata’ala. Mulai dari ketauhidan yang paling mendasar yaitu mengesakan
Allah dari aspek wahdaniyah Nya maupun dari aspek lainnya yaitu rububiyyah,
uluhiyyah serta asma dan sifatNya. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa surat
ini salahsatu kunci utama dalam memaknai seluruh aspek ketauhidan tersebut.
Ikhlas adalah suatu
kondisi disaat apapun kehendak dan
keinginan kita semurni-murninya tak lain dan tak bukan hanya berisi niat dan
dorongan demi Allah subhanahu wataala semata
tiada yang lain sedikitpun jua. Sehingga ketika seseorang akan
melaksanakan suatu pekerjaan begitulah keadaannya. Ketika melaksanakan sholat,
membaca alqur’an, mempelajari ilmu pengetahuan, bersedekah, berjuang, atau
ibadah apapun maka yang ada dalam dirinya hanyalah keinginan dan niat
mendapatkan ridha dan restu Allah subhanahu wata’ala semata.
Bila keadaannya tidak
demikian maka syarat keikhlasan dalam beramal belum terpenuhi dengan
sebaik-baiknya. Padahal dalam beramal syarat itu mutlak adanya. Akibatnya bila
tidak terpenuhi bisa saja amal kita tidak diterima Allah subhanahu wata’ala
disebabkan tujuannya berbelok dari yang seharusnya kepada Allah menjadi
terpalingkan kepada yang lain.
Deklarasi Tauhid menjadi
semakin kuat makna dan penegasannya dengan pengakuan atas apa yang dikatakan
Allah tentang diriNya yaitu bahwa Allah subahnahu wata’ala adalah Ash-shamad
yang berarti tempat bergantung dan menyandarkan diri atas segala usaha dan daya
upaya yang dilakukan ataupun harapan yang ditancapkan dalam hati.
Tauhidullah demikian
pula menjadi semakin jelas dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala
tidak bersifat seperti makhluk yang melewati proses dilahirkan dan melahirkan.
Proses ini tentu saja tidak terjadi pada Allah subhanahu wata’ala yang Maha Esa
tak melahirkan ataupun dilahirkan. Allah bukan anak seseorang ataupun bapak
dari seseorang. Ini juga yang membedakan Islam dan keyakinannya dengan
keyakinan lain.
Yang sangat penting
diyakini oleh kaum beriman adalah Keesaan Allah subhanahu wata’ala juga berarti
bahwa Allah tidak dapat dibanding-bandingkan atau dicari sesuatu yang serupa denganNya atau sesuatu yang dapat
dikatakan sekutuNya. Hal ini berlaku dalam semua aspek tauhid baik Rububiyah –
ketuhanan – Nya atau Uluhiyyah – keharusan menyembah dan mengabdi kepada Nya –
maupun dalam hal Asmaa’ wash shifaat – keagungan Nama dan Sifat-sifat Nya.
Kesimpulan
dan Pelajaran
Dari
penjelasan-penjelasan diatas dapatlah kita ambil beberapa mutiara hikmah dan
pelajaran yang berharga untuk pengokohan dan pelurusan aqidah yang terkait
dengan iman kepada Allah subhanahu wata’ala. Diantara pelajaran tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Ma’rifatullah yaitu mengenal Allah subhanahu wata’ala dari nama dan
sifatNya.
2.
Menegaskan prinsip Tauhid yaitu mengimani keesaan Allah subhanahu wata’ala
dan
keimanan atas Kenabian Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam.
3. Hanya Allah subhanahu wata’ala saja yang menentukan permintaan kita atas
segala sesuatu dapat dikabulkan atau tidak, sekalipun secara lahiriah pemberian
itu berasal dari seorang makhluk.
4. Membatalkan keyakinan akan adanya anak bagi Allah azza wajalla serta
kemusyrikan lainnya yang berlawanan dengan prinsip tauhid kepada Allah azza
wajalla.
5. Wajibnya beribadah dan menyerahkannya semata-mata kepada Allah subhanahu
wata’ala tidak boleh disekutukan dengan yang lain. Hal tersebut karena hanya
Allah yang mempunyai hak untuk disembah oleh makhlukNya sedangkan selainNya
tidak berhak.
Demikian pelajaran yang
dapat diambil dari surat ini. Tentunya dengan semakin banyak kita
teliti dan perhatikan bisa lebih banyak
lagi mutiaranya yang dapat kita raih. Seperti ungkapan seorang penulis tafsir
mengumpamakan ayat-ayat alqur’an itu layaknya sebutir kurma yang akan mengeluarkan
terus rasa manisnya saat terus pula kita kunyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar