Rabu, 02 Mei 2018

Meresapi Keagungan Tauhid dalam Surat Al-Ikhlas (Bagian 3)





Berikut ini lanjutan pembahasan terhadap surat Al-Ikhlas dengan memusatkan perhatian pada aspek keagungan tauhid yang dikandungnya. Setelah membaca pengantar diawal dan mencoba menyelami makna melalui arti kosakata yang terdapat didalamnya serta sedikit penjelasan maka berikut ini informasi singkat tentang Surat diikuti dengan penjelasan makna umum dan diakhiri dengan beberapa kesimpulan.

Status Surat

Surat Al-ikhlas ini terdiri dari 4 ayat dan masuk dalam penggolongan surat-surat Makkiyah atau yang turun sebelum hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah. Sehingga bila dilihat dari segi susunan dan gaya bahasanya sama seperti halnya surat-surat Makkiyah pada umumnya yaitu menggunakan susunan kalimat yang pendek-pendek tetapi tegas dan tidak mengundang penafsiran yang beragam.

Kalaupun terdapat beberapa pendapat dalam lingkup penafsiran sebuah kata dalam surat ini (seperti tafsir dari kata ash-shamadu) maka itu hanyalah perbedaan dalam pengungkapan kata tetapi bermuara pada satu makna yang sama.

Sebab Turunnya Surat al-Ikhlas

Dari Ubay Bin Ka’ab bahwasanya orang-orang Musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam : Wahai Muhammad jelaskan asal-usul Tuhanmu (insab lanaa rabbaka) maka Allah subhanahu wata’ala menurunkan :
(قل هو الله أحد الله الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد)
Inti kandungan surat ini penegasan akan sifat Allah subhanahu wata’ala yang esa tunggal tak bersanding dengan sekutu ataupun lawan yang seimbang atau sejenisnya.Dalam bahasa Ilmu Aqidah disebut tauhid rububiyah,uluhiyah serta tauhid asmaa’ wash-shifat. Penegasan makna tauhid seperti ini juga menjadi tema pokok surat-surat makkiyah umumnya.

Riwayat ini bersumber dari Tirmidzi, Ibnu Jarir Ath thabari, Ibnu Abi Hatim sebagaimana dicantumkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya sedangkan beberapa riwayat senada yang menerangkan peristiwa latar belakang turunnya surat ini juga disebutkan oleh Abu Ya’la dan Athabarani.

Penegasan ini setelah pernyataan mereka bahwa bila Orang-orang Yahudi menyembah ‘Uzair dan orang-orang Nasrani menyembah Yesus sedangkan orang-orang Majusi menyembah matahari dan bulan dan orang-orang Musyrikin Quraisy menyembah patung-patung maka mereka pun kemudian meminta kepada Nabi shallallaahu’alaihi wasallam untuk menerangkan Tuhannya maka turunlah surat Al Ikhlas ini sebagai jawabannya. Demikian riwayat sabab annuzul surat nan agung ini seperti yang disebutkan oleh Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya. Lihat betapa pentingnya kedudukan sabab annuzul dalam memahami kandungan sebuah ayat atau surat dalam tulisan di blog ini sebelumnya.

Makna Umum Surat

        Awal surat ini mengemukakan sebuah pesan yang sangat kuat agar Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam mendelarasikan kepada khalayak masyarakat musyrikin bahwa Allah subhanahu wata’ala adalah Ahad - Maha Esa – yang sangat berlawanan dengan keyakinan mereka selama ini yaitu kemusyrikan dan kekufuran.

          Surat ini secara keseluruhan menegaskan kewajiban kita untuk memurnikan ketauhidan kepada Allah subhanahu wata’ala. Mulai dari ketauhidan yang paling mendasar yaitu mengesakan Allah dari aspek wahdaniyah Nya maupun dari aspek lainnya yaitu rububiyyah, uluhiyyah serta asma dan sifatNya. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa surat ini salahsatu kunci utama dalam memaknai seluruh aspek ketauhidan tersebut.

          Ikhlas adalah suatu kondisi  disaat apapun kehendak dan keinginan kita semurni-murninya tak lain dan tak bukan hanya berisi niat dan dorongan demi Allah subhanahu wataala semata  tiada yang lain sedikitpun jua. Sehingga ketika seseorang akan melaksanakan suatu pekerjaan begitulah keadaannya. Ketika melaksanakan sholat, membaca alqur’an, mempelajari ilmu pengetahuan, bersedekah, berjuang, atau ibadah apapun maka yang ada dalam dirinya hanyalah keinginan dan niat mendapatkan ridha dan restu Allah subhanahu wata’ala semata.

          Bila keadaannya tidak demikian maka syarat keikhlasan dalam beramal belum terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Padahal dalam beramal syarat itu mutlak adanya. Akibatnya bila tidak terpenuhi bisa saja amal kita tidak diterima Allah subhanahu wata’ala disebabkan tujuannya berbelok dari yang seharusnya kepada Allah menjadi terpalingkan kepada yang lain.

            Deklarasi Tauhid menjadi semakin kuat makna dan penegasannya dengan pengakuan atas apa yang dikatakan Allah tentang diriNya yaitu bahwa Allah subahnahu wata’ala adalah Ash-shamad yang berarti tempat bergantung dan menyandarkan diri atas segala usaha dan daya upaya yang dilakukan ataupun harapan yang ditancapkan dalam hati.

           Tauhidullah demikian pula menjadi semakin jelas dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak bersifat seperti makhluk yang melewati proses dilahirkan dan melahirkan. Proses ini tentu saja tidak terjadi pada Allah subhanahu wata’ala yang Maha Esa tak melahirkan ataupun dilahirkan. Allah bukan anak seseorang ataupun bapak dari seseorang. Ini juga yang membedakan Islam dan keyakinannya dengan keyakinan lain.

            Yang sangat penting diyakini oleh kaum beriman adalah Keesaan Allah subhanahu wata’ala juga berarti bahwa Allah tidak dapat dibanding-bandingkan atau dicari sesuatu  yang serupa denganNya atau sesuatu yang dapat dikatakan sekutuNya. Hal ini berlaku dalam semua aspek tauhid baik Rububiyah – ketuhanan – Nya atau Uluhiyyah – keharusan menyembah dan mengabdi kepada Nya – maupun dalam hal Asmaa’ wash shifaat – keagungan Nama dan Sifat-sifat Nya.

Kesimpulan dan Pelajaran

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapatlah kita ambil beberapa mutiara hikmah dan pelajaran yang berharga untuk pengokohan dan pelurusan aqidah yang terkait dengan iman kepada Allah subhanahu wata’ala. Diantara pelajaran tersebut adalah sebagai berikut:

1.       Ma’rifatullah yaitu mengenal Allah subhanahu wata’ala dari nama dan sifatNya.
2.       Menegaskan prinsip Tauhid yaitu mengimani keesaan Allah subhanahu wata’ala dan
 keimanan atas Kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
3.    Hanya Allah subhanahu wata’ala saja yang menentukan permintaan kita atas segala sesuatu dapat dikabulkan atau tidak, sekalipun secara lahiriah pemberian itu berasal dari seorang makhluk.
4.      Membatalkan keyakinan akan adanya anak bagi Allah azza wajalla serta kemusyrikan lainnya yang berlawanan dengan prinsip tauhid kepada Allah azza wajalla.
5.    Wajibnya beribadah dan menyerahkannya semata-mata kepada Allah subhanahu wata’ala tidak boleh disekutukan dengan yang lain. Hal tersebut karena hanya Allah yang mempunyai hak untuk disembah oleh makhlukNya sedangkan selainNya tidak berhak.

Demikian pelajaran yang dapat diambil dari surat ini. Tentunya dengan semakin banyak kita 
teliti dan perhatikan bisa lebih banyak lagi mutiaranya yang dapat kita raih. Seperti ungkapan seorang penulis tafsir mengumpamakan ayat-ayat alqur’an itu layaknya sebutir kurma yang akan mengeluarkan terus rasa manisnya saat terus pula kita kunyah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar